Minggu, 19 Desember 2010

PROFIL ULAMA-ULAMA ACEH

Oleh : Syamsul Qamar, S.Pd
Abon Mesjid Raya Samalanga adalah salah seorang ulama kharismatik Aceh. Nama asli beliau Tgk. H. Abdul `Aziz bin M. Shaleh, beliau lebih dikenal dengan panggilan Abon `Aziz Samalanga atau Abon Mesjid Raya Samalanga. Beliau lahir di Desa Kandang Samalanga Kabupaten Aceh Utara (Kabupaten Bireuen sekarang ini) pada bulan Ramadhan tahun 1351 H / 1930 M. Abon diasuh dan dibesarkan di Jeunieb bersama kedua orang tuanya, ayahandanya pernah menjabat Kepala Kantor Agama (KUA) Jeunieb dan juga merupakan salah seorang pendiri Dayah Darul `Atiq Jeunieb sehingga Abon dari masa kecilnya sudah mulai belajar ilmu pendidikan agama di Dayah tersebut dan Abon pada waktu itu tinggal di Jeunieb. Ketika usia Abon telah matang, Abon menikahi seorang gadis di Desa Mideun Jok Samalanga yang merupakan putri gurunya sendiri yang merupakan pimpinan Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga pada waktu itu. Sehingga Abon dikaruniai 4 orang anak, yaitu Alm. Hj. Suwaibah, Hj Shalihah, Tgk H. Athaillah, dan Hj. Masyitah.
Abon memulai belajar pada pendidikan formal pada tahun 1937, Abon memasuki Sekolah Rakyat (SR) dan menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1944. Dari tahun 1944 beliau belajar pada orang tuanya selama 2 tahun, kemudian pada tahun 1946 beliau pindah belajar ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga yang pada waktu itu dipimpin oleh Tgk Haji Hanafiah (Teungku Abi) lebih kurang selama 2 tahun. Pada tahun 1948 Abon melanjutkan pendidikannya ke salah satu dayah yang dipimpin oleh teungku Ben (teungku Tanjongan) di Matangkuli Kabupaten Aceh Utara. Di dayah ini Abon belajar pada Teungku Idris Tanjongan sampai dengan tahun 1949, dan pada tahun tersebut beliau kembali lagi ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengabdikan diri menjadi guru di dayah tersebut.

Setelah beliau mengabdi menjadi guru beberapa tahun, pada tahun 1951 Abon melanjutkan pendidikannya ke Dayah Darussalam Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan yang dipimpin oleh Alm. Teungku Syeikh Muhammad Wali Al-Khalidi yang lebih dikenal dengan panggilan Abuya Mudawali. Abon belajar di Dayah Darussalam lebih kurang selama tujuh tahun, dan pada tahun 1958 Abon kembali lagi ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya samalanga untuk mengembangkan ilmunya. Pada tahun tersebut pimpinan Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga meninggal dunia, sehingga Abon diangkat menjadi pimpinan Dayah tersebut.

Abon `Aziz Samalanga memulai karirnya sebagai pimpinan dayah dari tahun 1958 sampai dengan tahun 1989. semenjak dayah LPI MUDI Mesjid Raya berada dibawah kepemimpinannya, banyak perubahan terjadi didalamnya, terutama menyangkut tentang kurikulum pendidikan yang semula tidak terlalu fokus pada ilmu-ilmu alat (bantu) seperti ilmu manthiq, ushul, bayan, ma`ani dan lain-lain. Akan tetapi kurikulum pendidikan pada masa kepemimpinannya lebih fokus belajar pada ilmu-ilmu alat tersebut, terlebih lagi keahlian Abon yang sangat menonjol adalah dalam bidang ilmu manthiq sehingga Abon digelar dengan Al-Manthiqi.
 

Abon sangat disiplin dan punya semangat yang luar biasa dalam mengajar, sehingga kadang-kadang dalam keadaan beliau sakit merasa sehat untuk mengajar, dan selalu meamanahkan kepada murid-muridnya untuk belajar-mengajar (beut-seumubeut). Dalam pengajarannya, Abon sangat membenci faham wahabiyah sehingga beliau tidak pernah bosan dalam mengurai kesesatan faham tersebut, bahkan hampir setiap hari Abon menyinggung tentang kesesatan faham tersebut. Kemajuan dayah pada masa kepemimpinan Abon meningkat pesat, jumlah santri dari jumlah ratusan menjadi ribuan, bangunan fisik dayah pun juga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang terus maju. Selain dari aktifitas Abon di dayah, Abon juga membuka pengajian mingguan di Jeunieb (lebih dikenal dengan Balee Hameh) setiap seminggu sekali.
 

Disamping aktifitas dakwah melalui majelis pengajian, Abon juga ikut dalam pembangunan fisik, seperti membangun jalan ke kebun di Desa Gle Mendong Samalanga dan menggarap sawah yang telah terlantar bertahun-tahun bersama-sama dengan murid-muridnya serta dibantu oleh masyarakat sekitar, yang kesemuanya beliau lakukan untuk hidupnya perekonomian masyarakat. Abon juga pernah memberi dukungan kepada partai politik, seperti partai PERTI, Abon memilih partai tersebut karena dilatar belakangi atas faham ahlussunnah waljama`ah.

Ada satu pesan yang sangat sering diamanahkan kepada murid-muridnya, yaitu belajar-mengajar (beut-seumubeut) dimana pun berada dan dalam kondisi bagaimana pun ketika telah pulang dari dayah nantinya, walaupun dengan sebuah balai di depan rumah. Pesan tersebut telah menjiwai dalam pemikiran murid-murid beliau, sehingga sekarang ini dapat terlihat dengan banyaknya dayah dan balai pengajian yang dipimpin oleh alumni Dayah LPI MUDI Mesjid Raya. Dan akhirnya Abon dipanggil kembali kehadharat-Nya pada tanggal 9 Jumadil Akhir 1409 / 17 Januari 1989 dengan tutup usia 58 tahun di Samalanga, dan dikebumikan di komplek putra dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga Kabuapten Bireuen. Semoga Allah memberi pengampunan kepada beliau, menempatkan beliau dalam satu kebun daripada kebun syurga sesuai dengan amal baik yang telah beliau lakukan. Amiin.!



Secara umum masyarakat di Aceh lebih mengenal Teungku Haji Syihabuddin Syah dengan nama Abu Keumala, nama tersebut merupakan nama panggilan beliau sewaktu mengaji di Labuhan Haji. Selain sebagai ulama, Abu Keumala juga di kenal sebagai orator ulung di masanya. Keunikan pidato Abu Keumala adalah apa saja yang dilihat atau yang sedang terjadi, bisa beliau ciptakan sebagai perbandingan dalam berpidato, terutama yang menyangkut tentang masalah ketauhidan. Abu Keumala merupakan pencerah di bidang Tauhid Sehingga beliau juga di gelar sebagai Ulama Tauhid. Disamping mengadakan pengajian dan ceramah, Abu Keumala juga aktif menulis, diantara buku karangan beliau yang terkenal adalah Risalah Makrifah.

A.       Asal usul 
Seuneuddon merupakan salah satu kecamatan di pesisir Aceh Utara, daerah ini telah banyak melahirkan ulama – ulama besar, tapi kebanyakan ulama tersebut tidak bermukim di Seuneuddon. Diantara ulama besar  yang tidak bermukim di Seuneuddon tersebut adalah: Teungku Muhammad (Abu Seuriget) pimpinan dayah Darul Mu'arif Langsa, Teungku Muhammad Amin pendiri dayah Malikussaleh Panton Labu (mulai tahun 1965 – 1975),Teungku Ibrahim Bardan (Abu Panton) pimpinan Dayah Malikussaleh di Panton Labu (mulai tahun 1975 hingga sekarang), Teungku Karimuddin (Abu Alue Bilie) pimpinan dayah Babussalam Panteu Breuh, Kemudian Teungku Syihabuddin Syah atau yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Keumala juga berasal dari Seuneuddon, tepatnya di desa Tanjong Pineung, beliau lahir sekitar tahun 1928.
Ketinggian ilmu agama Teungku Syihabuddin Syah karena beliau merupakan murid ulama – ulama besar di Aceh. Semenjak remaja Teungku Syihabuddin Syah sudah belajar di dayah Keumala Kabupaten Pidie kemudian di dayah Labuhan Haji, Aceh Selatan yang dipimpin oleh ulama besar Teungku Haji Muhammad Waly Al-Khalidi (Abuya Muda Waly). Karena lama belajar di dayah Keumala  maka Teungku Syihabuddin Syah dikenal dengan panggilan Teungku Keumala atau Abu Keumala. Mungkin panggilan seperti ini agak sedikit tidak lazim, karena biasanya seorang ulama di panggil berdasarkan nama kampung asal atau tempat di mana beliau menetap, bukan dimana tempat beliau mengaji. Teungku Syihabuddin Syah menikah pada tahun 1957 dengan salah seorang putri yang merupakan  cucu gurunya di Keumala, dari perkawinan tersebut beliau dianugrahi Sembilan orang anak.
B.       Bermukim di Medan
Ketika  Konflik bersenjata di Aceh tahun 1953, beliau memperlihatkan sikap tidak menyetujuinya. Karena itu beliau pindah ke Medan. Seorang pemuka masyarakat, Haji Manyak Meureudu, mewakafkan sebidang tanah 25 x 25 meter yang diatasnya ada bangunan sederhana terletak dipasar II jalan Sei Wampu, Kampung Babura, Medan Baru. Di tempat ini ditampung 30 orang pelajar Aceh yang menuntut ilmu di berbagai peguruan tinggi di Medan. Di tempat itu juga Ustadz Syihabuddin memberi pelajaran agama, baik bagi penghuni asrama maupun bagi kaum muslimin di sekitar  tempat itu. Di tempat itu juga Ustadz Syihabuddin memberi pelajaran agama kepada keluarga – keluarga tokoh – tokoh masyarakat Aceh di Medan.
Pertikaian antara dua etnis di Medan pada tahun 1956, menyebabkan Asrama Pelajar di Pasar II Jalan Sei Wampu Kampung Babura Medan Baru, diserbu oleh sekitar 36 orang tidak dikenal. Asrama tersebut di porak – porandakan, kemudian dibakar. Penghuninya Teungku Syihabuddin Syah yang mengajar di tempat itu di pukul dengan broti di  kepalanya hingga tidak berdaya namun beliau dapat di selamatkan ke rumah sakit.
Hancurnya asrama yang selama itu di huni oleh 30 orang pelajar dan mahasiswa  yang juga tempat pengajian bagi masyarakat yang ada di sekitar tempat itu, maka menjadi masalah bagi pemuka – pemuka masyarakat Aceh di Medan. Mereka mencari jalan untuk menampung pelajar dan mahasiswa yang asramanya tidak ada lagi juga tempat pengajian telah porak – poranda.
C.        Pendirian Sekolah Islam
Masalah asrama pelajar / mahasiswa Aceh sekaligus tempat pengajian berhasil diatasi pada tahun 1956 itu juga. Hal itu berkat jasa baik Tuanku Hasyim S.H. atas nama Yayasan Sosial Medan mewakafkan sebidang tanah ukuran 9,5 x 17 meter. Di atas tanah itu ada bangunan tua yang dapat digunakan. Tanah itu terletak di pasar Melintang, sekarang Jalan Darussalam 24 Medan. Nama jalan itu diusulkan oleh Teungku Syihabuddin Syah kepada Wali Kota Medan dan di terima baik oleh Wali Kota, Haji Muda Siregar (tahun 1957).
Karena di gunakan untuk kegiatan pendidikan agama, maka pada tahun 1960 tempat itu diberi nama Asrama  Madrasah Pesantren Miftahussalam. Kemudin dibuka SRI (Sekolah Rendah Islam), SMI (Sekolah Menengah Islam), SMIA (Sekolah Menengah Islam Atas), yang langsung dipimpin oleh  Teungku Syihabuddin Syah dan Teungku Abdussalam Abdullah. Nama tingkat pendidikan itu kemudian berubah menjadi Diniyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Untuk memperkokoh perhatian kaum muslimin terhadap Miftahussalamah, Teungku Syihabuddin Syah mengajar orang – orang tua murid untuk mengikuti majelis pengajian yang di beri nama Safinatussalamah ( = kapal penyelamat), sedangkan yang menjadi guru adalah beliau sendiri. Pengajian itu berkembang dengan pesat di kota Medan. Pada waktu yang bergiliran Teungku Syihabuddin Syah memberi pengajian yang berjumlah sekitar 11 tempatdi Kota Medan dengan menggunakan kenderaan VW Combi yang di setir oleh beliau sendiri.
Nama komplek Asrama Madrasah Pesantren itu oleh Teungku Syihabuddin Syah diganti pada tahun 1977 menjadi Pendidikan Islam Miftahussalam. Lancarnya pembangunan komplek Miftahussalam itu atas dasar wakaf kaum muslimin, sehingga berhasil membuka  SLTP dan SMU Darussalam. Tenaga pengajarnya adalah para sarjana dari berbagai disiplin ilmu yang menjadi penghuni asrama.
Pendidikan Islam Miftahussalam telah berbadan hukum , yang Ketua Umumnya adalah Teungku Syihabuddin Syah , maka sekarang sudah lengkap tingkat pendidikan agama, dan juga SLTP dan SMU. Komplek Miftahussalam pada tahun 2004 menampung sekitar 1500 siswa dan siswi yang belajar pagi dan sore. Siswi SLTP dan SMU semua berjilbab dan pada waktu shalat Ashar seluruh siswa yang belajar sore shalat berjamaah di Mesjid Taqarrub. Di komplek Mesjid Taqarrub juga dibuka TK Alquran.
Ketika Asrama dan Pesantren Miftahussalam masih merupakan bangunan yang sangat sederhana, Abu Keumala mempunyai ruangan sendiri sekaligus tempat tinggal nya. Selama beberapa tahun di tempat itu beliau melakukan Khulwah di setiap bulan Ramadhan. Selama Khulwah beliau tidak berbicara dengan siapapun, komunikasi dilakukan dengan surat menyurat.
D.       Akhir hayat
Sebelum meninggal kesehatan beliau terus menurun. Mula – mula gangguan mata hingga tidak dapat membaca kitab, walaupun telah berobat ke dokter ahli mata di Medan, tidak juga membawa hasil. Juga di bawa berobat ke Penang namun tidak ada perobahan. Kemudian dating lagi gangguan penyakit gula. Begitupun beliau tetap berusaha menjadi imam seperti dalam bulan Ramadhan. Juga beliau member kuliah agama, walaupun porsinya tidak seperti sebelumnya.
"Seorang demi seorang  benteng agama meninggalkan kita. Kita bersedih bukan karena kepergian beliau, tetapi karena hilangnya benteng agama, mujahid Islam yang telah banyak jasanya kepada masyarakat". Demikian dikatakan oleh Al-Ustadz Drs Haji Halim Harahap, mewakili para khatib mesjid Taqarrub Jalan Darussalam 26 ABC Medan, ketika melepas jenazah Al – Ustadz Teungku Haji Syihabuddin Syah atau Abu Keumala sebelum di berangkatkan ke tempat persemayaman terakhir di komplek perkuburan Mesjid Raya Al Mansur jalan Sisingamangaraja , Medan.
Abu Keumala meninggal di rumah kediamannya di jalan Karya Bhakti Gang Rukun No: 2 Medan, setelah menderita sakit semenjak bulan April 2004. Beliau meninggal hari Jumat, 9 Juli 2004. Upacara pelepasan jenazah dilangsungkan di Mesjid Taqarrub, mesjid yang beliau bangun bersama kaum muslimin, baik yang ada di Medan maupun yang berada di luar Kota Medan. Mesjid tempat beliau mengucurkan ilmu agama, baik dalam pengajian baik dalam pengajian ibu – ibu dan kaum bapak. Kuliah agama di berikan di mesjid itu terutama di bulan Ramadhan selesai Shalat Tarawih, kemudian kuliah Shubuh baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Pada acara pelepasan juga ikut berbicara Prof Dr Haji Aslim Sihotang yang menguraikan tingginya ilmu yang di miliki oleh Almarhum Al – Ustadz Teungku Haji Syihabuddin Syah atau Abu Keumala. Ia menganjurkan supaya kitab yang ditulis olh Almarhum pada tahun 1983 yang 4 jilid berjudul Risalah Makrifah agar di cetak, yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh murid – muridnya.



Di tulis oleh : Tgk Zulfahmi MR; staff pengajar di Dayah Raudhatul Ma'arif Cot Trueng – Muara Batu – Aceh Utara, Tulisan ini Merupakan nukilan dari buku : Biografi Ulama - Ulama Aceh Abad XX Jilid III.
Bila kita melakukan perjalanan dari Banda Aceh kearah Meulaboh, setelah melewati puncak tertinggi di daerah tersebut yaitu puncak gunung Geurute maka kita akan memasuki sebuah kota yang terkenal dengan kota Lamno atau Peukan Lamno. Di daerah Lamno inilah dulu pernah berdiri kerajaan Daya yang pernah mengalahkan pasukan Portugis dan mengislamkan mereka serta mendirikan perkampungan etnis Portugis, sehingga daerah ini juga dikenal dengan perkampungan Si Mata Biru. Diatas puncak bukit di daerah Kuala Daya terdapat perkuburan raja – raja Daya yang terkenal dengan Almarhum Daya atau dalam bahasa Aceh biasa disebut dengan Meureuhom Daya, karena itulah daerah ini dikenal juga dengan negeri Meureuhom Daya.

Setelah peleburan kerajaan Daya menjadi kerajaan Aceh Darussalam di tahun 1520 M oleh Sultan Ali Mughayat Syah nama Daya terasa hilang seiring perjalanan waktu. Kemudian semenjak didirikan pesantren BUDI di tahun 1967 oleh Teungku Haji Ibrahim Ishak, nama daerah Meureuhom Daya atau Lamno kembali mencuat kepermukaan, terutama bagi yang ingin mengecap pendidikan agama.A. Silsilah
 
Teungku Haji Ibrahim Ishak atau lebih dikenal dengan panggilan Abu Budi Lamno lahir di Mukhan, Lamno, Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya) pada tahun 1936. Beliau berumah tangga dengan seorang perempuan bernama Hajjah Sunainiyah. Dari perkawinan itu beliau dikarunia empat orang anak yaitu Nabhani, Chairiati, Afifuddin dan Nurhidayati.

B. Pendidikan
Ketika umurnya telah sampai usia menuntut ilmu, Teungku Ibrahim dimasukkan oleh orang tuanya untuk mengecap pendidikan dasar pada Sekolah Rakyat (SR). Dengan ketekunan dan kedisiplinannya, beliau menyelesaikan pendidikan di sekolah ini pada tahun 1949. Walaupun pendidikan dasarnya pada lembaga pendidikan umum, namun orang tuanya melihat putranya ini memiliki bakat dan minat pada pendidikan agama. Karenanya Teungku Ibrahim Ishak selanjutnya dikirim ke Labuhan Haji untuk belajar di Dayah Darussalam yang dipimpin oleh Abuya Muda Waly. Lama beliau belajar di dayah ini hingga tahun 1958.

Seiring dengan kepulangan guru beliau Teungku Abdul Aziz (Abon Samalanga) dari Labuhan Haji ke Samalanga pada tahun 1958 untuk memimpin Dayah MUDI MESRA (Ma'hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya), maka Teungku Ibrahim Ishak ikut serta ke Samalanga guna untuk menambah ilmu yang dirasakan belum cukup serta untuk membantu Abon Samalanga mengajar di MUDI MESRA. Teungku Ibrahim Ishak mengabdi di Samalanga hingga tahun 1963. Kehausan terhadap ilmu agama tidak pernah membuat Teungku Ibrahim Ishak merasa puas sehingga dari Samalanga beliau berangkat ke Sumatera Barat untuk belajar di sana hingga tahun 1966.

C. Kiprah terhadap masyarakat
Pada tahun 1967 atau sekembali dari memperdalam ilmu agama di Sumatera Barat, Teungku Ibrahim Ishak membuka lembaga pengajian di kampung halamannya. Lembaga pengajian ini bernama Dayah Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah, dayah ini disingkat dan lebih dikenal oleh masyarakat dengan dayah BUDI, maka terkenallah beliau dengan panggilan Abu Budi. Semenjak beliau dirikan pesantren ini hingga akhir hayatnya, beliau selalu memimpin lembaga pendidikan ini dan membina santri – santri yang berdatangan dari seluruh wilayah Aceh serta ada beberapa santri dari luar propinsi Aceh. Beliau seolah – olah tidak mempunyai perasaan bosan dan jenuh untuk membina dan memberi semangat kepada para guru dan santri untuk selalu giat belajar. Abu Budi berpandangan bahwa ilmu akan mudah didapat apabila para pelajar agresif, maka Abu Budi menganjurkan agar dihidupkan Munazharah (berdebat Hukum agama) di setiap pengajian. Oleh karena itu dayah BUDI Lamno terkenal dengan ciri khasnya yaitu diadakannya munazharah disetiap pengajian.

Kepiawan Abu Budi dalam mengupas hukum – hukum agama dengan menggunakan dalil aqli dan naqli dalam setiap pengajian dan acara mubahasah agama dengan gaya beliau yang khas membuat beliau sangat terkenal, sehingga ada yang menjuluki beliau sebagai ulama Mantiq dan juga terasa hambar acara mubahasah agama tanpa kehadiran beliau. Lokasi dayah yang tidak begitu strategis karena berada di muara sungai Lamno yang membuat air di situ menjadi payau dan krisis air bersih, tapi karena karisma Abu Budi yang terkenal membuat santri dari berbagai daerah bahkan yang sudah menjadi guru di pesantren yang lain berdatangan ke dayah BUDI karena ingin menimba ilmu di dayah tersebut. Dayah ini dikenal oleh masyarakat umum, ada 800 orang santri pria dan 700 orang santri perempuan belajar di dayah ini pada tahun 1997, tercatat ada yang berasal dari Jambi, Lampung, Padang, Sulawesi dan Malaysia.

Pada tahun 1990 Abu Budi menjabat sebagai ketua MUI (sekarang MPU) kecamatan Jaya dan pengurus Persatuan Dayah Inshafuddin. Jabatan lain yang dijabatnya hingga akhir hayat adalah ketua IPHI Kecamatan Jaya, ketua DPC PERTI Aceh Barat, wakil ketua MPW PPP Aceh dan ketua DPC PPP Aceh Barat. Semenjak usia muda, Teungku Haji Ibrahim Ishak sangat aktif di bidang pendidikan agama dan sangat berperan dalam bidang sosial kemasyarakatan dalam upaya membantu berbagai program pemerintah. Setiap pemilu Teungku Haji Ibrahim Ishak aktif berkampanye untuk PPP.

D. Akhir hayat
Teungku Haji Ibrahim Ishak atau Abu Budi Lamno salah seorang ulama karismatik Aceh meninggal dunia pada tanggal 14 Mei 1997 dalam usia 61 tahun. Pimpinan dayah BUDI Lamno itu menghembus nafas terakhir dirumahnya desa Jangeut Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya).
Menjelang detik – detik ajalnya , Abu Budi sempat menitip sebuah amanah kepada keluarga, santri dan dewan guru "jagalah dayah ini baik – baik", demikian pesan Abu Budi yang diulang sebanyak tiga kali. Berita meninggalnya Abu Budi begitu cepat menyebar. Gelombang masyarakat tak pernah henti berdatangan hingga berlangsungnya pemakaman di desa Jangeut, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya.#
 


Ditulis oleh :
 Tgk Zulfahmi MR; staf pengajar di Dayah Raudhatul Ma'arif, Cot Trueng. Tulisan ini merupakan nukilan dari buku "Biografi Ulama Aceh Abad XX Jilid II".

Oleh Prof Dr Muhibbuddin Waly
Ayahku dilahirkan di desa Blangporoh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917. Tidak ada yang mengetahui dari famili beliau tentang hari, tanggal dan bulan, kapan beliau dilahirkan. Ini pada umumnya sering terjadi pada orang-orang tua kita zaman dahulu. Meskipun mereka itu ulama atau guru, tetapi soal mencatat hari dan tanggal kelahiran, lahirnya anak atau cucu, kurang begitu diperhatikan, selain hanya diingat, tahun kelahiran saja. Teramasuk diriku sendiri, untunglah aku mengetahui, bahwa hari dan tanggal kelahiranku tiba-tiba aku melihat catatan dari ayahku pada satu kitab, bahawasanya kelahiranku, adalah pada hari Rabu, atau Arba’a, 17 Disember 1936, pada pagi harinya (menurut kata ibukandungku).

Beliau adalah putera bungsu dari putera-puteri orang tua beliau yang bernama Syeikh Haji Muhammad Salim bin Malin Palito. Sebenarnya ada lagi adik beliau, tetapi meninggal dunia pada waktu beliau masih kecil.
Haji Muhammad Salim, orang tua ayahku berasal dari Batusangkar, Sumatera Barat. Kalau aku tidak salah ingat bahwa di Batusangkar itu ada sebuah desa, yang disebut dengan Koto Baru, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Aku telah datang ke desa itu pada waktu aku berusia lebih kurang 12 tahun, dibawa oleh ayahku pada waktu beliau melawat ke Sumatera Tengah, dan oleh karena aku dalam usia demikian sudah bisa pidato dan membaca kitab-kitab Tsanawiyah, maka aku diangkat oleh famili orang tuaku degan panggilan “Malim Kecik” yang ertinya “Alim Kecil.
Kakekku Haji Muhammad Salim bin Malin Palito datang ke Aceh Selatan adalah selaku da’i atau pendakwah dan juga sebagai guru agama. Di samping itu, pula paman beliau yang masyhur dipanggil oleh masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Peulumat, yang nama aslinya ialah Syeikh Abdul Karim, lama telah mendahului beliau, merantau ke Aceh Selatan dan mengambil tempat tinggal di Kecamatan Labuhan Haji, juga selaku da’i guru dan ulama, menyebarkan nilai-nilai agama Islam. Dorongan itulah yang paling kuat bagi kakekku Haji Muhammad Salim, meninggalkan Sumatera Barat menuju Aceh Selatan dengan kapal layar perahu pada zaman itu.
Tidak lama setelah beliau, yakni kakekku itu berada di Kecamatan Labuhan Haji, di bawah kepimpinan pamannya itu, maka kakekku ada jodohnya, dengan seorang wanita pilihan yang bernama Janadar, puteri seorang Kepala Desa yang bernama Keucik Nya’Ujud, yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Itulah Ibu Kandung ayahku. Orang tua beliau seorang ulama dan ibu kandung beliau keturunan pemimpin masyarakat yang juga dikenal di Kecamatan Labuhan Haji.
Pada waktu orang tuaku masih kecil adik kandung beliau meninggal dunia, bahkan ibu kandung beliau sendiri Siti Janadat berpulang ke rahmatullah. Kalau aku tidak salah, bahwa nenekku itu meninggal dunia karena melahirkan. Ada yang mengatakan begitu. Maka tinggallah ayahku selaku anak yatim, kehilangan ibu kandungnya. Nenekku Siti Janadat itu paling dicintai oleh kakekku Haji Muhammad Salim, meskipun ayahku mempunyai kakak-kakak kandungnya yang laki-laki bernama Abdullah Ghani dan adiknya ialah Ummi Kalsum dan Siti Maliyah.
Meskipun kakak-kakak ayahku sangat mencintai adiknya, yakni ayahku, tetapi bagi kakekku tidak melepaskan ayahku dalam segala hal kepada kakek-kakaknya itu. Ayahku selalu digendong oleh kakekku di atas bahunya kemana saja beliau pergi mengajar dan berdakwah meskipun setelah itu kakekku Haji Muhammad Salim berumah tangga lagi di suatu desa dalam Kecamatan Manggeng, tetapi tidak lama karana kecintaan kakekku kepada ayahku adalah melebihi dari segala- galanya, termasuk atas isteri kakek yang baru, bahkan atas puteri-puterinya yang lain. Tentu kita dapat menggambarkan, bahwa kecintaan seorang ayah yang juga ulama, yang menjadi ikutan umat, terhadap anaknya senantiasa dibarengi dengan doa yang tiak putus-putusnya. Baik setelah selesai mengerjakan ibadah, atau di waktu sang ayah di mana kalbunya terlintas pada anaknya.
Menghayati yang demikian itu, maka aku yakin apa yang telah diceritakan oleh Syeikh Haji Teungku Adnan Mahmud Bakongan, sahabat dan murid orang tuaku, pemimpin Pesantren Ashabul Yamin di Bakongan Aceh Selatan, bahwa kakekku Haji Muhammad Salim bermimpi, bahwa bulan purnama turun ke dalam pangkuan beliau dan pada waktu itu ayahku sedang dalam kandungan ibundanya, Siti Janadat. Meskipun mimpi tidak dapat dijadikan dalil pada hukum, tetapi dalam pemahaman isyarat, banyak benarnya. Dan ini telah diungkapkan oleh al-Quran, yang menggambarkan mimpinya Raja Mesir dan kemudian dita’wilkan oleh Nabi Yusuf AS, Maka kalau dita’wilkan mimpi kakekku itu, maka nyatalah kebenarannya, bahwa puteranya yang dicintainya itu suatu waktu akan menjadi ulama besar, suluh penerang bagi umat manusia pada zamannya. Aku dapat mengatakan ha keadaan ini berdasarkan sedikit serupa bagi apa yang telah terjadi dari mimpi Yusuf AS yang kemudian beliau ta’wilkan sendiri, dengan beliau ungkapkan pada orang tuanya Nabi Ya’qub AS.
Nama ayahku pada waktu kecil ialah Muhammad Waly. Setelah beliau berada di Sumatera Barat, dalam saf para ulama Besar, maka beliau dipanggil dengan gelaran Angku Mudo, atau Tuanku Mudo Waly, atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali dari Sumatera Barat ke Aceh, di Kecamatan Labuhan Haji pada khususnya,, masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sendiri menulis namanya dengan Muhammad Waly atau secara lengkap Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.
Sedangkan ibuku yang lain, Hajah Rabi’ah Jamil, ibu kandungnya adik-adikku Ahmad Waly dan Haji Mawardi Waly, pernah aku lihat pada sebuah buku kecil yang ditulisnya tentang rentetan nama orang tuaku: Syeikh Haji Muhammad Waly al Syafi’i Mazhaban wa al-Asy’ari Aqidatan wa al-Naqsyabandi Tariqatan. Tetapi ayahku tidak pernah menulis rentetan nama beliau dengan predikat yang demikian itu. Sebab ummiku Hajah Rabi’ah Jamil adalah puteri kandung Syekh Muhammad Jamil Jaho, seorang ulama besar di Sumatera Barat dan tidak ada puteri-puteri Syeikh Jamil yang agak alim, selain puteri beliau ummiku itu.
Pulang ke Aceh
Setelah ayahku berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah SWT, perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pendidikan ayahku serta pengalaman- pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan mendirikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darussalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantren di desa kelahiran beliau sendiri.
Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui perahu layar dari Padang ke Aceh di Kecamatan Labuhan Haji. Ayahku disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad untuk membangun sebuah pesantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka ayahku hanya mendirikan kali pertama sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas tempat tinggal ayahku beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.
Yang paling besar sekali hatinya dengan kepulangan ayahku ialah ayahanda beliau sendiri, yakni kakekku Haji Muhammad Salim. Meskipun ayahku memimpin upacara ibadah dalam arti yang luas, tetapi kakekku senantiasa berada di samping ayahku, turut membantu dalam memberikan penyampaian-penyampaian ajaran Islam secara lebih khusus terhadap para jamaah yang hadir.
Lahan tempat mendirikan musalla yang diberikan oleh famili ayahku adalah sangat terbatas, sedangkan jamaah umat Islam sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau ayahku. Ibu-ibu pada malam Selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam Rabu dan harinya pula. Oleh karena itu, maka ayahku ingin memperluas lahan untuk betul-betul mulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggal sekalian, yang dalam istilah Aceh disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400×250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatagan sedikit demi sedikit dari Kecamatan Labuhan Haji, dari Kecamatan-Kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai Kabupaten di daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai propinsi di Pulau Sumatera.
Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut:
Pertama: Daru Muttaqin, di bahagian ini terletak lokasi sekolah-sekolah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan Tariqat Naqsyabandiyah dan dijadikan tempat khalwah atau suluk, 40 hari dalam Ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 hari dalam Ramadan dengan 10 hari sebelumnya, 10 hari pada awal Zulhijjah, ditutup degan Id al-Adha dan 10 hari pada bulan Maulud, ditutup dengan hari besar Islam Maulid Nabi Muhammad SAW.
Kedua: Darul- Arifin; di lokasi ini bertempat tinggal guru-guru yang pada umumnya sudah berumah tangga dan lokasi agak berdekatan ke pantai, laut samudera Hindia.
Ketiga: darul Muta’allimin; di lokasi ini bertempat tinggal para pelajar pilihan di antaranya guruku Syeikh Idrus bin Abdul Ghani al-Kamfari. Aku sendiri dan adik-adikku beserta para penuntut ilmu pengetahuan lainnya. Keempat: Darus Salikin; di lokasi ini banyak tempat tinggal dalam asramanya pelajar-pelajr yang disamping menuntutu ilmu pengetahuan juga berkhalwah, apalagi pada bulan-bulan khalwah seperti bulan Ramadhan, bulan Maulud dan bulan Haji, maka asrama-asrama dilokasi ini banyak ditempati oleh orang-orang yang berkhawah. Kelima: Darul Zahidin; Keenam: Darul Ma’la.
Semua lokasi diatas dinamakan oleh ayahku dengan nama-nama tersebut, dengan harapan sebagai tafaul kepada Allah SWT. semoga para penuntut ilmu pengetahuan agama yang tamatan dari pesantren Darussalam benar-benar menjadi hamba Allah yang senantiasa belajar seumur hidup (al Muta’allimin), menjadi hamba-hamba Allah yang bertaqwa (al_Muttaqin), menajdi hamba-hamba Allah yang zahid, lebih mengutamakan akhirat dari dunia (al-Zahidin), dan menjadi hamba-hamba yang salih (al-Salikin) dan mendapat tempat yang terhomat, baik dalam pandangan masyarakat, apalagi dalam pandangan Allah SWT. (al-Ma’la). Oleh karena itu banyak cita-cita ayahku dalam pengembangan Islam di Aceh diperkenakan Allah. Karena itulah, hampir seluruh pesantren di Aceh adalah berpangkal dari pesantren ayahku Darussalam Labuhan Haji.







Silsilah
Teungku Haji Muhammad Yusuf lebih dikenal dengan nama panggilan Abu Kruet Lintang. Ia merupakan anak keempat dari Teungku Ibrahim bin Teungku Mahmud bin Teungku Amin Silang bin Teungku Rampah Tarung bin Teungku Shalahuddin. Teungku Shalahuddin lebih dikenal dengan nama panggilan Teungku Chik Keurukon yang konon berasal dari Yaman.

Abu Kruet Lintang lahir pada tanggal 21 Agustus 1917 di desa Kruet Lintang, Kemukiman Rambong Payong, Peureulak Aceh Timur. Ketika berusia 10 tahun, orang tuanya meninggal  dunia dan selanjutnya Abu Kruet Lintang  diasuh oleh pamannya yaitu Teungku Usman bin Mahmud. Saudara Abu Kruet Lintang yang lain adalah Abdul Manaf, Aisyah, dan Sakinah. Ibunda Abu Kruet Lintang bernama Ummi Hamidah binti Teungku Mahmud atau lebih dikenal dengan sebutan Teungku  Chik Mud Julok bin Abdul Muin. Teungku  Chik Mud juga seorang ulama terkenal dan tokoh masyarakat di daerahnya yang mempunyai andil besar dalam perjuangan melawan penjajah serta dalam bidang dakwah Islam.
                Abu Kruet Lintang nikah dengan seorang perempuan yang bernama Ummi Aminah binti Teungku Chik Ahmad Simpang ulim. Dari perkawinan itu, Abu Kruet Lintang dikarunia delapan orang anak, yaitu teungku Abdurrahman, Teungku Abdurrani, Hamdan, Ramlah, Muhammad, Syafur, Maryam, serta Abdullah.
Pendidikan
                Sebagaimana lazimnya anak –anak di Aceh bahwa pendidikan pertama ia peroleh dari orang tuanya dirumah, apalagi jika orang tuanya juga seorang yang alim. Setelah orang tuanya meninggal, ia kemudian belajar pada pamannya seperti belajar membaca Alquran dan kitab – kitab agama dalam bahasa Jawi. Sedangkan pada pagi hari ia belajar pada Sekolah Rakyat (SR). Alue Nireh. Disekolah ini beliau hanya belajar hingga kelas tiga, selanjutnya beliau lebih banmyak belajar di lembaga pendidikan Dayah.
                Pendidikan di Dayah yang dilaluinya tidak hanya pada satu dayah saja tetapi dari satu Dayah ke Dayah yang lain. Hal itu karena ia memiliki kecendrungan menuntut ilmu dalam berbagai bidang. Di antara Dayah tempat ia belajar adalah Dayah Cot Plieng, Bayu, selama delapan bulan dibawah asuhan  Teungku Cut Ahmad. Ketika pimpinan Dayah itu meninggal,  Abu Kruet Lintang  pindah ke Dayah Krueng Kalee, Aceh Besar pada tahun 1939 yang dipimpin oleh Teungku Hasan Krueng Kalee. Setelah itu  Abu Kruet Lintang belajar pula pada Dayah Blang Batee Peureulak pada tahun 1942, di bawah asuhan Teungku Muhammad Ali. Pada Dayah Blang Batee ini Abu Kruet Lintang memperdalam ilmu Tauhid, Tafsir, ilmu Kalam dan lain – lain selama satu tahun.
Aktivitas Sosial dan Keagamaan
                Dengan kecerdasan  dan pengetahuannya tentang agama Islam yang ia miliki, Teungku Muhammad Ali (pimpinan Dayah Blang Batee) meminta Abu Kruet Lintang untuk kembali ke Dayah Mutaallimin di Aceh Timur untuk memimpin Dayah itu sebagai pengganti pamannya yang sudah meninggal. Pada tahun 1943 Abu Kruet Lintang mulai memimpin Dayah itu dan sekaligus melakukan berbagai pembenahan menyangkut sistem pendidikan. Sebagai seorang ulama motivasinya beraktivitas dalam melaksanakan pendidikan umat semata-mata karena mengharap ridha Allah. Ilmu yang telah ia kuasai selanjutnya diajarkan kepada masyrakat daan santri – santri  di Dayah Darul Mutaallimin.
                Dengan ketinggian ilmu agama yang dimiliki oleh Abu Kruet Lintang, selanjutnya beliau mendapat pengakuan masyarakat sebagai ulama. Apalagi dilihat dari latar belakang keluarga dan pendidikan, Abu Kruet Lintang memang terkenal  dari keluarga ulama. Dengan demikian tidak heran apabila ia menghabiskan usianya demi pendidikan dakwah Islam.
                Kepedulian Abu Kruet Lintang terhadap problem – problem masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan sangat tinggi. Akibatnya masyarakat mudah sekali  terpengaruh oleh ajaran yang menyimpang dari tuntunan Islam yang sebenarnya. Misalnya  masyarakat banyak yang terjerumus dalam kesyirikan, bidah, khurafat dan sebagainya karena tidak memiki pengetahuan. Problem itu mendorong Abu Kruet Lintang mencoba menumbuhkan sikap keagamaan masyarakat berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu masalah pertama yang dilakukan dalam memulai dakwahnya adalah dengan pembenahan keyakinan karena akidah atau keyakinan itu merupakanprinsip dasar yang harus dipahami dengan benar oleh setiap muslim. Apabila keyakinan seorang muslim rusak maka sia – sialah ia melaksanakan amalan lain dalam Islam. Langkah selanjutnya yang ditempuh adalah pembersihan setiap amalan dari unsur bidah dan khurafat yang tidak ada contohnya dalam Islam.
                Selain mengajar ilmu agama di Dayah, Abu Kruet Lintang juga member pengajian diberbagai tempat di Aceh Timur. Dalam pengajian itu beliau membahas berbagai permasalahan agama, terutama menyangkut amalan praktis seperti shalat, puasa, zakat, haji, thaharah dan sebagainya. Abu Kruet Lintang mempunyai peranan yang penting sebagai ulama dan pimpinan masyarakat dalam menegakkan ajaran Islam yang benar dan mempersatukan umat dari perselisihan. Beliau telah membina dan mendidik masyarakat dari kerusakan akidah kepada yang benar sebagaimana Alquran dan Hadits.
                Pada tahun 1963 Teungku Hasan Krueng Kalee mengirim surat kepada Abu Kruet Lintang yang isinya menyebut agar Abu Kruet Lintang mendirikan organisasi PERTI (Persatuan Tarbiyah Islam) di Aceh Timur. Abu Kruet Lintang lalu bermusyawarah dan bermufakat dengan berbagai pimpinan dayah di Aceh Timur dalam rangka pendirian organisasi PERTI tersebut. Dalam musyawarah itu terpilih pula Abu Kruet Lintang sebagai ketu umum PERTI di Aceh Timur dengan sekretarisnya Teungku Mukhtar Juned Amin. Organisasi itu kemudian beliau kembangkan dan sosialisasikan ke masyarakat terutama melalui dayah. Langkah pertama yang dilakukan oleh Abu Kruet Lintang adalah mengintruksikan kepada setiap dayah yang tergabung dakla morganisasi PERTI wajib mencetak kader dakwah dan calon ulama yang terampil.
                Dalam pembinaan kader dakwah cara yang ditempuh oleh Abu Kruet Lintang adalah dengan cara membuka latihan – latihan dan kursus – kursus kepada masyarakat terutama melalui pendidikan did ayah. Selanjutnya usaha Abu Kruet Lintang dalam bidang pendidikan adalah dengan menganjurkan kepada setiap pimpinan PERTi di daerah untuk mempersiapkan anak – anak muslim yang terpelajar. Untuk itu dibukalah Madrasah Ibtidaiyah dan pengajian Alquran disetiap daerah sehingga mulai saat itu bermunculan Madrasah Ibtidayah di Peureulak.
Akhir hayat
                Manusia boleh berencana tetapi ketentuan hanya di tangan Tuhan. Begitulah yang terjadi  pada diri Abu Kruet Lintang. Ketika beliau masih aktif berdakwah dan ingin mengembangkan terus sistem pendidikan kea rah yang lebih baik tetapi Tuhan menghendaki lain, sehingga beliau berpulang kerahmatullah pada tahun 1985. Kepergiannya tidak sia –sia karena ia telah berbuat banyak terhadap umat dan menjadi tugas generasi sesudahnya untuk melanjutkanperjuangan beliau. Semoga amalnya diterima disisi Allah.#



Sering terdengar bahwa tasawuf dan politik adalah dua dunia yang berseberangan. Asumsi ini semakin diperkuat dengan banyaknya pengikut tasawuf / tarekat yang kadang lebih memilih hidup uzlah (mengasingkan diri) dari problem-problem social disekelilingnya.
Pada dasarnya, kenyataan ini tidak berangkat dari pemahaman tasawuf yang benar menurut Islam. Rasulullah saw sebagai panutan utama dalam beragama ternyata juga seorang seorang negarawan. Rasulullah tidak hanya mengurus agama, tapi juga mengatur Negara.
 

Tengku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang hidupnya.
Tulisan singkat berikut ini akan mengulas karyanya dalam bidang tasawwuf sekaligus kiprah di dunia politik.
Biografi Singkat
Ulam yang kerap dipanggil dengan sebutan Abu Krueng Kalee ini, lahir pada tanggal 13 Rajjab 1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di desa Meunasah Letembu, Langgoe< Kabupaten Pidie. Ketika itu ayahnya yang bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah Krueng Kalee sedang dalam pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan Belanda yang berkecamuk di kawaasan Aceh Besar.
Setelah situasi perang relatif mereda, Muhammad Hasan kecil dibawa kembali oleh orang tuanya ke kampong halaman mereka di krueng Kalee. Disanalah perjalanan keilmuannya dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah yang dikenal dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga belajar agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama setelah ayahnya sendiri.
Ketika umurnya beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikan ke negeri Yan Keudah, Malaysia, di Pesantren Tgk. Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang terakhir ini merupakan ulama Aceh turut mengungsi ke negeri Jiran akibat situasi perang.
Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik kandungnya yang bernama Tgk. Abdul Wahab berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pendidikan di Mesjid al-Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya tersebut meninggal dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat Tgk. Hasan patah asemangat, ia tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama besar Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7 tahun.
Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari seorang pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah. Hal mana kemudian membuatnya alaim dalam ilmu Falak dan digelar dengan sebutan “Tgk. Muhammad Hasan Al-Asyie Al-Falaky.”
Sekembalinya dari Mekkah Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu di Yan Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng Kaleesempat mengajar beberpa tahun dan kemudian dijodhkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.
Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad Sa’id- Pimpinan Dayah Meunasah Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdidan mengajar di Dayah tersebut. Tidak lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan desa Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar.
Ditempat terakhir ini Abu Krueng Kalee mulai menbgabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh semisal Tgk. H. Mahmud Blang Bladeh, Tgk. H. Abdul rasyid Samlako Alue Ie Puteh, Tgk. H. Sulaiman Lhok Sukon, Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang, Tgk. Haji Adnan Bakongan, Tgk. H. Sayid Sulaiman (mantan Imam Mesjid Raya Baiturrahman), Tgk. H. Idris Lamreng (ayahanda Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Matan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh), dan lain-lainnya. Sebagaian dari mereka kemudian membuka lembaga-lembaga pendiidkan agama/ dayah baru di daerah masing-masing.
Sutau hal yang patut disayangkan dari para ulama tradisional aceh dahulu adalah minimnya karya tulis keilmuan. Padahal mereka sangat “kaya” dalam khazanah ilmu agama dan pengalaman rohani. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh sisitem pembelajaran di aklanagan Dayah ketika itu yang sangat terfokus pada metode “Sima’I” dan “Talaqqiy” yaitu metode belajar dengan mendengar memahami dan menghafal. Metode yang sama juga digunakan ketika mngajarkan ilmu pengetahuan kepada generasi berikutnya. Sementara penyampaiannya kembali ilmu dalam bentuk narasi atau tulisan ilmiah meskipun dapat kita temukan, namun tidak sebanding dengan khazanah keilmuan yang mereka miliki.
Fenomena ini juga terjadi pada kisah tgk. H. Hasan Krueng Kalee. Kemahiran Abu Krueng Kalee dalam Ilmu Falak (Astronomi) sangat disayangkan tidak membuahkan sebuah karya ilmiah yang dapat dijadikan rujukan hari ini. Padahal ilu yang dimilikinya tergolong ilmu yang langka di Aceh dan Nusantara ketika itu. Walaupun demikian semasa hidupnya Abu Krueng Kalee selalu menerbitkan hasil Hisab tentang awal bulan –bulan Arab, Khususnya Ramadhan, Syawal dan Haji yang sangat bermanfaat bagi masyarakat ketika itu.
Hal senada juga diutaerakan oleh putranya, Tgk. H. Syech Marhaban Hasan Krueng Kalee, ia sangat menyayangkan minimnya karya tulis dari ayahandanya tersebut. Padahal ide, pemikiran, fatwa-fatwa dan hasil penelitian Abu Krueng Kalee dalam Hisab dan Falak sangat banyak, dan tentu akan sangat berguna jika dibukukan ketika itu.
Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee secara khusus sangat besar artinya bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam bidang politik telah memberi arti vital, dukungan dan semangat bagi kelangsungan Republik Indonesia yang ketika itu baru seumur jagung.
Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam jum’at sekitar pukul tiga dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putrid. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri muda pertanian pada masa pemerintahan presiden Soekarno.

Karyanya dalam Bidang Tasawuf
Selain aliran adlama berbagai disiplin ilmu agama Islam, Abu Krueng Kalee juga terkenal dengan Tasawuf dan kesufiannya. Abu Krueng Kalee adalah orang yang pertama memperkenalkan dan mengembangkan Tarekat Al-Hadadiyah di Seraambi Mekkah, sebagaimana dijelaskan dalam snad Tarekat.
Dalam upaya menyebarkan tarekat tersebut, Tgk. H. Hasan Krueng Kalee menulis sebuah buku panduan dalam tarekat Al-Haddadiyah yang diberi nama: “Risalah Latifah fdi Adab Adz-Zikr wa al-Tahlil wa kaifiyatu Tilawah al-Samadhiyah ‘ala Tharekat Quthb al-Irsyad al Habib Abdullah al-Haddad.”
Kitab “Risalah” setebal 32 halaman tersebut ditulis dalam dua bahasa; Arab; dan Melayu Jawi. Kitab ini terbagi dalam empat bagian. Bagain pertama menerangkan adab berzikir dan bertahlil. Bagian kedua menerangkan cara membaca shamadiyah menurut tarekat al-Haddadiyah. Bagian ketiga tentang silsilah sanad tarekat. Dan bagian ke empat menernagkan adab dan metode membaca kitab dalail khairat sebagaimana yang diijazahkan oleh kedua gurunya, Syech Abdullah Islail dan Syech Hasan Zamzami.
Pada bagian pertama buku ini, Abu Krueng Kalee menjelaskan bagaimana prosedur yang seharusnya dipelihara dlam berzikir. Dimulai dengan memelihara adab berzikir; berupa taubat dari segala dosa besar dan kecil; duduk bersila menghadap kiblat sambil mengapitkan ibu kaki kanan ke dalam lipatan paha kiri tepat pada urat besar di bawah lutut kiri yang bernama urat kaimas; meletakkan dua tangan di atas kedua paha seraya menundukkan kepala sekedarnya dan menetapkan seluruh anggota tubuhnya. Selanjutnya membaca istighfar tiga kali dan shalawat atas Nabi sepuluh kali dengan bacaan tertentu.
Selanjutnya mulai berzikir dengan ucapan khusus, seraya memejamkan mata agar terbuka mata hatinya. Dan dibayangkan wajah/rupa guru (orang yang memeberinya ijazah tarekat) di hadapannya. Karena dengan berkat/ ‘afwah gurunya-lah ia mendapatkan kebajikan zikir tersebut. Hal inilah yang disitilahkan dengan “Rabithah” dikalangan ahlus sufi.
Buku yang selesai ditulis tanggal 5 dzulhijjah 1345 H ini, sangat menekankan pentingnya arti “Rabithah’ dalam bertarekat. Rabithah diartikan pertambatan hati antara guru dan muridnya. Menurut Abu Krueng Kalee, guru adalah ganti dari Rasulullah dalam hal memberi ijazah, Talqin dan Bai’at. Rabitah disini juga dimaknai dengan ikatan hati antara murid dengan gurunya lalu ikatan hati guru tersebut dengah gurunya yang lain hingga sampai kepada hati Rasululah Saw., selalu berharap kepada Allah ‘Azza wajalla dengan berzikir.
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee dalam buku ini juga menjelaskan bagaimana metode berzikir menurut tarekat al-Haddadiyah. Terlebih dahulu mengingat dalam hati kalimat “Allah, Allah” hingga hilang segala hal keduniaan (aghyar) pada hatinya. Bila telah sampai kepada kondisi itu, barulah dimulai zikir dengan mengucapkan “ “. Dalam mengucapkan kalimat “Ia” nafas di ambil dari pusar lalu dinaikkan ke otaknya, pada saat itu kepala dicondongkan sedikit ke kanan sambil mengucapkan kalimat dan pada saat mengucapkan kalimat “ seolah-olah kalimat itu dihujjamkan dalam hati yang terletak pada lambung kiri kadar dua ibu jari bawah susu. Hentakan tersebut dilakukan dengan mesra dan dimaksudkan untuk memberi bekas kepada hati, sebab ia adalah tempat bernaungnya syaitan yang bernama “Khannas”. Metode dzikir semacam ini juga dijumpai dalam berbagai tarekat sufi lain dalam pengucapan kalimat tahlil “ “.
Pada kesudahan buku ini juga memeperingatkan orang agar berzikir dengan tulus ikhlas semata-mata karena Allah, serta memelihara bacaan dzikir agar tidak terjadi kesalahan pengucapan yang berdampak kepada kufur. Dzikir tidak hanya dilakukan dalam keadaan duduk, tapi boleh dalam keadaan berjalan, maupun berbaring. Baik dengan lisan atau dengan hati.
Abu Krueng Kalee juga menjaelaskan sebaiknya seseorang terlebih dulu membaca samadhiah sepuluh ribu kali yang diniatkan bagi dirinya sendiri, lalau sepuluh ribu kali bagi orang tuanya, dan sepuluh ribu kali bagi syaikh/ gurunya. Akan tetapi yang paling afdhal untuk diri sendiri dibaca seratus ribu kali.
Menurut Abu Krueng Kalee, keistimewaan membaca shamadiah (surat Ikhlas) di dasari atas hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim bahwa “ barangsiapa membaca surah Al-Ikhlas sepuluh ribu kali, niscaya Allah akan membebaskan dari apai neraka.” Dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang lain Rasulullah Saw, bersabda; “ Barangsiapa membaca “ “ sepuluh ribu kali bagi mayit, niscaya Allah akan membebaskannnya dari api neraka.”
Tarekat Al-Haddadiyah memiliki cirri khas berupa kesederhanaan, khususnya dari segi bacaan dan praktek dzikir yang terfokus kepada kalimat Tauhid dan tahlil “ selain selawat dan doa-doa lainnya. Ini di dasari pada beberapa hadist Rasulullah yang menekankan pentingnya arti kalimat Tauhid tersebut.
Kiprahnya Dalam Dunia Politik
Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang ulama salafi dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatic, namun hal tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.
Bagi pemerhati sirah Rasulullah Saw yang mulia, hal seperti ini pada dasarnya tidaklah mengherankan. Sebab Rasul Saw yang notabene adalah waliyul aAuliya wa Asyfiya pemimpin para wali dan sufi) juga merupakan pemimpin pemerintah Islam. Mengurus agama dan juga mengatur Negara. Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan saling melengkapi satu sama lain. Akhirat adalah tujuan, sementara dunia adalah jalan (wasilah) untuk menuju kesana.
pemahaman yang benar terhadap sirah Rasul ini membuat abu krueng kalee dapat mengkombinasikan kedua hal tadi dalam kehidupannya. karena tasawuf adan tarikat tidak selalu identik dengan uzlah (pengasingan diri) dari kehidupan social. Pemahaman ini pula yang kemudian membuat kiprah tgk. H. Hasan Krueng Kalee selalu hadir mengiuringi setiap peristiwa yang muncul disekelilingnya.
Dalam upaya mengusir penjajahan colonial Belanda mislanya, sikap Abu Krueng Kalee jelas terlihat dari usahanya membentuk lascar mujahidin yang terdiri dari para santri dan masyarakat guna mengusir penjajahan dari Bumi Serambi Mekkah. Hal ini terus berlanjut hingga perang Revolusi mempertahankan kemerdekaan.
Puncak dari dukungan tgk. H. Hasan Krueng Kalee terhadap republic Indonesia yang baru lahir ketika itu adalah diterbitkannya “Maklumat Ulama Seluruh Aceh” tanggal 15 oktober 1945. maklumat ini berisikan tentang fatwa bahwa perjuangan memeprtahankan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang disebut perang sabil (Jihad fi sabilillah), dan merupakan sambungan dari perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan Alm. Tgk. Chik Di Tiro, dan pahlawan-pahlawan kebangsaan lainnya. Maklumat penting ini diprakarsai dan ditandatangani oleh empat Ulama besar yaitu; Tgk. H. Hasan Krueng Kalee, Tgk. M. Daud Bereu’eh, Tgk. H. Djakfar Sidik Lamjabat, dan Tgk. Ahmad Hasballah Indarapuri, serta diketahui oleh Teuku Nyak Arief selaku residen Aceh dan disetujui oleh Tuanku Mahmud selaku ketua Komite Nasional.
Selain maklumat bersama, beliau juga mengeluarkan maklumat sendiri yang tidak jauh berbeda dengan maklumat itu. Maklumat tersebut kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI (pemuda republic Indonesia) dengan surat pengantar yang ditandatangani ketua umumnya Ali Hasjimi tertanggal 8 November 1945 dan dikirim kepada para tokoh dan ulama seluruh aceh. Dampak dari seruan ini, berdirilah barisan Mujahidin diseluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahiddin Divisi Tgk Chik di Tiro.
Keluarnya Maklumat Ulama seluruh Aceh tadi sangat memberi dampak positif bagi pemeritah baru RI saat itu dan munculnya semangat dukungan fisik dan materil rakyat Aceh bagi membiayai perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Sehingga tidak mengherankan, dalam kunjungan pertama presiden Soekarno ke Aceh Juni 1948, ia menegaskan bahwa Aceh segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.”
Kiprah politik Abu Krueng Kalee juga terlihat dalam kasus perang Cumbok antara pasukan hulubalang Aceh pimpinan Teuku Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI.
Pad dasarnya tidak semua ulama setuju dengan perang ini. Abu Krueng Kalee salah seorang diantaranya. Abu Krueng Kalee lah yang di utus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja untuk menemui Teungku Daud Cumbok agar mau berdamai. Namun ajakan itu ditolak. Atas sikapnya yang netral itu beliau diangkat oleh Komite Nasional Daerah Aceh menjadi salah seorang anggota tim penyelidikan asal-usul tragedi besar “perang saudara” yang telah merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh dipenghujung tahun 1945 tersebut.
Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh tahun 1953, seorang utusan Daud Beureueh dating menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah ungkpan yang masyhur; “Ta Peu’ek geulayang Watei na Angen.” (terbangkanlah laying-layang ketika angina kencang). Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat, tidak akan mebuahkan hasil dan justru akan menyengsarakan rakyat.
Menjelang tahun lima puluhan, bersama beberapa tokoh lain Abu Krueng Kalee memprakarsai lahirnya Perdatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) di Aceh sekaligus memimpin organisasi tersebut aktif hingga tahun 1968.
Kiprah politikj beliau terus berlanjut hingga pernah diangkat menjadi Dewan Konstituante pasca pemilu 1955 mewakili PERTI. Hingga akhir hayatnya beliau terus memberikan ilmu-ilmunya kepada masyarakat melaui konsultasi dan pengajian-pengajian.
Penutup
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang telah tiada, namun degungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat Al-Haddadiyah masih menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Wallahu’alam
Bahan ini merupakan ringkasan dari buku Ensikoledi Pemikiran ulama Aceh, karena sulitnya mencari biografi beliau.








Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Siapa sebetulnya Syech Ihsan Jampes tersebut??

Yang saya tahu Kh.Ihsan Muhammad yang masyhur dengan nama Syech Ihsan jampes satu satunya Ulama yang mengarang dan menulis Kitab tentang kopi dan rokok . Kitab Asli yang berjudul “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” mengupas tentang kopi dan rokok dari mulai sejarah munculnya Kopi dan rokok sampai hukum mengkomsumsi keduanya.
Ulama asal kediri yang buah karyanya diakui ulama – ulama internasional sebut saja kitab yang saat ini di bajak oleh penerbit Darul Imayah Beirut berjudul” Sirajut Thalibin” , Kitab tersebut kini banyak beredar di Indonesia namun entah salah cetak atau sengaja dicantumkan pengarang tersebut Syech Zaini dahlan padahal harusnya adalah Syech Ihsan Muhammad Dahlan dari Jempes kediri. Saya tidak habis pikir Penerbit t Darul Imayah di Beirut merupakan perusahaan penerbitan yang telah masyhur bisa salah cetak dan menurut saya ada unsur kesengajaan untuk membajak buah karya ulama Kediri tersebut , karena kata pengantar /Taqridah dari KH.Hasyim Asy’ari dalam kitab asli tersebut di buang dan di ganti dengan Biografi Syech Zaini Dahlan ( ulama timur tengah ).
Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Siapa sebetulnya Syech Ihsan Jampes tersebut??
KH.Ihsan Dahlan Jampes adalah Putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal dilingkungan Pesantren terkenal nakal, orang memanggil dengan sebutan “Bakri” lahir sekitar tahun 1901 di desa Jampes Kediri jawa timur. Ayahnya bernama Kh.Dahlan . Kegeramaran Syech Ihsan remaja adalah nonton wayang sambil ditemani kopi dan rokok dan yang membuat khawatir keluarganya adalah kegemaran bermain judi. Bakri julukan Syech ihsan kecil sangat mahir bermain judi , sudah beberapa kali ayahnya menasehatinya agar berhenti melakukan perbuatan buruk tersebut , namun kebiasaan putranya tersebut belum juga berubah masih saja gemar bermain Judi . hingga suatu hari Ayahnya Bakri Kh.Dahlan mengajaknya berziarah ke makam seorang ulama bernama Kh Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya, disana ayahnya bermunajat kepada Alloh agar putranya sadar dan insyaf dan memohon kepada alloh kalau saja putranya masih saja seperti itu agar di beri umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat. Selepas ziarah tersebut suatu malam Syech Ihsan bermimpi di datangi oleh seorang berwujud kakek sedang membawa sebuah batu yang sangat besar yang siap di lemparkan ke kepala Syech Ihsan sambil berkata ” Hai cucu ku kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan Batu besar ini ke pala mu” kata Kakek tersebut. ” Apa hubungannya kakek dengan ku..? mau berhenti atau terus bukan urusan kakek ” Timpal Syech Ihsan. Tiba tiba Sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syech Ihsan….hingga pecah kepalanya…Saat itu Syech Ihsan terbangun dari tidurnnya sambil mulutnya mengucapkan istighfar”‘ Astaghfirlulloh…..apa yang sedang terjadi kepadaku….Ya Alloh….ampuni dosaku….. Sejak saat itu Syech Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di pulau Jawa . Mengambil berkah dan restu dari para ulama ulama di jawa seperti Kh.Saleh darat, Kh.Hasyim Asyari dan Kh Muhammad Kholil Madura.
Setelah sekian lama merlakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu sekitah tahun 1932 Syech Ihsan mulai menetap dan mengajar . Hari hari beliau gunakan untuk mengajar dan menulis Kitab sambil di temani Kopi dan rokok yang menjadi ciri khasnya, begitu banyak karya karya beliau yang di akui oleh para ulama ulama nusantara dan internasional, KItab Siraj al-Thalibin, yang ditulis sekitar 1932-33 sebagai syarahatas karya Al-Ghazali, yang sangat dalam membahas persoalan-persoalan tasawuf dan kitab tersebut dibuat kata pengantar langsung dari Kh.Hasyim Asyari tebuireng Jombang . Model thasawuf yang di bahas dalam kitab tersebut menawarkan Konsep Thawasuf masa kini Misalnya ajaran tentang konsep uzlah yang secara umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam kesunyian duniawi, oleh Syekh Ihsan dalam kitab tersebut dimaknai sebagai pengasingan diri dalam kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Uzlah bukan lagi menyepi, tapi bagaimana hidup dalam masyarakat majemuk. Inilah yang disebut sebagai tasawuf hadzaz zaman (tasawuf zaman ini) . KOnsef zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali.
”Jadi
 zuhud adalah tapa dunia tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik dalam menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Syech Ihsan sendiri adalah Ulama yang kaya raya,”
Satu lagi pelajaran dari Sirajut Thalibin adalah soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata Syekh Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut Thalibin, doa yang paling tinggi adalah kalimatAl-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Tebalnya Kitab tersebut nyaris seribu halaman, dibagi dalam dua juz.

Sebelumnya, pada 1930 Syech Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak berjudul Tashrih al-Ibarat yang merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Karya lainnya yang unik adalah Kitab “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” terinspirasi karena kegeramarannya Syech Ihsan yang suka Kopi dengan Rokok. Walaupun Syech Ihsan tidak pernah belajar di Mekkah namun kemampuan bahasa Arab dan keterampilannya dalam menulis kitab berbahasa Arab sangat luar biasa dan ada sebuah karya Syech Ihsan yang menjadi manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Kairoh selama bertahun tahun berjudul ” Manahijul Imdad” merupakan syarah (komentar) dari kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para hamba) karya Syekh Zainuddin Malibari ( lombok ) . Kitab setebal 118 halaman itu diulas kembali oleh Syech Ihsan dalam kitab setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua juz. Kitab ini berada dalam jalur kajian fikih namun berbeda dengan kitab fikih formal lainnya sebab lebih condong ke ajaran tasawuf dan pada bab-bab tertentu banyak menunjukkan fadhilah-fadhilah (keutamaan) melakukan ibadah. Manuskrip kitab yang tersimpan di perpustakaan Kairo akhirnya di minta oleh pihak keluarga dan diterbitkan oleh salah seorang murid beliau yang tinggal di semarang.
Pada tanggal 15 September 1952 Syech Ihsan Dahlan dipanggil oleh Alloh swt dengan meninggalkan karya karya tulis dan kitab yang saat ini menjadi rujukan para ulama ulama baik nusantara maupun internasional.



Jama’ah haji Aceh sejak tahun 2007/2008 telah mendapat penggantian biaya pemondokan haji selama di Mekkah, yang totalnya menurut Pemda NAD sebesar Rp. 25 Milyar. Dana ini berasal dari Waqaf Baitul Asyi atau Wakaf Habib Bugak, yaitu waqaf yang telah diberikan oleh Habib Bugak Mekkah pada tahun 1224 H atau sekitar tahun 1800 M dan dikembangkan Nadzir (Pengelola waqaf) dengan profesional

Dari sebidang tanah telah menjadi berbagai asset, diantaranya adalah Hotel Jiad dan Menara Jiad setinggi 28 tingkat yang mampu menampung 7000 orang. Diperkirakan nilai wakaf Habib Bugak di Mekkah saat ini telah mencapai sekitar 200 juta Riyal atau sekitar 5,5 Trilyun Rupiah. Menurut ikrar waqaf Habib Bugak, beliau telah mewariskan hartanya untuk kepentingan masyarakat Aceh, terutama jama’ah haji dan yang bermukim di Mekkah. Adapun bunyi ikrar wakaf tersebut yang diringkas dan diterjemahkan dari Sertifikat Wakaf Haji Habib Bugak, yang dikeluarkan oleh Maulana Hakim Makkah Almukarramah adalah sebagai berikut :
Yang kita muliakan Haji Habib Bugak Aceh, dengan leluasa dan ikhlas telah mempersembahkan untuk dirinya akan bermanfaat bagi hartanya, dan semata-mata mengharap keridhaan Allah, serta menantikan fahala yang besar dari hari pembalasan Allah bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, kita bersandar pada pengamalan sabda dari Rasulullah SAW (Apabila anak cucu Adam meninggal dunia, putuslah segala amal kebaikannya kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh)”.
Telah datang menghadap yang kita muliakan Haji Habib Bugak Aceh ke hadapan Maulana Hakim Syara’ di majlis beliau dan dia telah mewakafkan dan menahan hartanya menjadi sedekah jariah, serta membelanjakan hartanya di jalan Allah, dan itu adalah sebentang tanah dan padanya terdapat rumah di kawasan Qasyasyiah di Makkah Almukarramah”.
Demikianlah bunyi ikrar wakaf Habib Bugak yang di ikrarkan pada tahun 1224 Hijriah. Namun menurut Dr. Hilmi Bakar dari Crescent Consulting, yang dibenarkan oleh Sayed Maimun Bin Said Abdurrahman Al Habsyi yang merupakan keturunan ke tujuh dari Habib Bugak kepada saya Senin 14 Januari 2008 di Bugak, menurutnya masih banyak dikalangan masyarakat Aceh yang belum mengenal siapa Habib Bugak Aceh itu.
Habib artinya seorang keturunan Rasulullah, yaitu dari keturunan beliau anak cucu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Menurut kebiasaan masyarakat Aceh memberikan gelar Habib kepada Sayed yang Alim dan memiliki kharisma serta kelebihan tertentu di masyarakatnya. Di antara Habib yang terkenal di Aceh adalah Habib Abu Bakar Balfaqih (Habib Dianjung) yang wafat di Pelanggahan Banda Aceh tahun 1100 H (1680an M) terkenal sebagai ulama yang berpengaruh pada masa Sultan Iskandar Muda dan sesudahnya. Demikian pula ada Habib Abdurrahman Al-Zachir, yang menjadi Menteri Luar Negeri dan Mangkubumi Kerajaan Aceh pada akhir 1880an dan diasingkan Pemerintah Kolonial Belanda ke Mekkah pada awal tahun 1900an hingga wafat di sana.
Habib Bugak Asyi bukanlah nama sebenarnya dari Habib yang telah mewaqafkan hartanya pada tahun 1800an di Mekkah, tetapi adalah julukan beliau, sebagaimana menjadi kebiasaan umum para tokoh Aceh yang akan diberikan julukan tertentu, terutama tempat tinggal atau tempat wafatnya. Seperti Habib Dianjung, Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Singkili), Tengku Eumpe Awe Montasik, Abu Kota Krueng, Abu Teupin Raya dan lainnya, yang masih digunakan sampai sekarang. Jadi Habib Bugak Asyi artinya seorang Habib yang berasal dari gampong Bugak di negeri Aceh.
Sampai saat ini belum ditemukan catatan resmi atau sejarah tentang Habib Bugak Asyi, padahal beliau adalah salah seorang tokoh Aceh yang berpengaruh sampai ke Mekkah pada masa itu. Untuk mengenal pasti siapa Habib Bugak ini, Hilal Ahmar (Red Crescent) telah membentuk Tim Peneliti Habib Bugak yang dipimpin Dr. Hilmy Bakar (Crescent Consulting). Setelah mengadakan penelitian selama 6 bulan, maka dengan bertawaqqal sepenuhnya kepada Allah SWT, tim peneliti telah menyimpulkan bahwa nama asli Habib Bugak Asyi atau Pewaqaf Baitul Asyi di Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwy Al-Habsyi (1720anM–1870anM).
Habib Abdurrahman bin Syekh Al-Habsyi lahir di Mekkah dan diperkirakan tiba di Kerajaan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1760an M atau bersamaan dengan masa pemerintahan Sultan Ala’addin Mahmud Syah (1767-1786 M), dan beliau tinggal di Aceh sampai wafat sekitar tahun 1870an M. Menurut surat Sultan Aceh tahun 1206H/1785M beliau ditugaskan Sultan untuk menjadiT.Chik (Sultan Lokal) di daerah utara yang kekuasaannya dari Kuala Peusangan, Pante Sidom, Bugak, Monklayu, Labu, Mane’ sampai ke Cunda dan Nisam. Surat Sultan Aceh dengan CapSikurueng bertahun 1224H/1800M dan 1270H/1825M, mengukuhkan kedudukan beliau sebagai T.Chik, Laksamana-Bentara dan Qadhi-Khatib, Wakil Sultan di sebelah Utara Kerajaan Aceh yang berpusat di Monklayu dengan kota syahbandar di Kuala Ceurapee. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Habib Abdurrahman menjadi seorang hartawan yang memiliki tanah pertanian luas di sepanjang pantai utara Aceh, dari Kuala Peusangan sampai ke Cunda saat ini. Sampai sekarang keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi banyak dijumpai di Peusangan, Bugak, Monklayu, Bungkah, Lhoksemawe sampai ke Panton Labu dan Idi di Aceh Timur.
Pada tahun 1220an H atau 1800an M, Habib Abdurrahman kembali ke Mekkah menemui keluarga besarnya. Tercatat pada bulan Rabi’ul Akhir 1224 H, beliau mewakafkan sebidang tanah beserta rumah bersebelahan dengan Masjidil Haram untuk masyarakat Aceh, baik yang muqim atau jama’ah haji dengan menggunakan nama Habib Bugak Asyi (seorang Habib dari Bugak Aceh). Dari sini dapatlah kita ketahui, beliau adalah seorang zuhud yang tidak haus dengan pujian dan sanjungan. Beliau lebih mengedepankan nama asalnya, kota Bugak di Aceh, karena beliau terpanggil untuk membawa negeri Aceh ke dunia Internasional Islam yang berpusat di Mekkah al-Mukarramah.
Setelah mewaqafkan hartanya, beliau kembali meninggalkan tanah leluhurnya di Mekkah untuk mengembangkan dakwah Islamiyah sepanjang hayatnya di bumi Aceh, terutama di Peusangan, Monklayu dan Bugak. Maka pada bulan Rajab 1224 H atau 3 bulan setelah beliau mewaqafkan hartanya di Mekkah, Sultan Aceh kembali mengeluarkan surat resmi yang mengukuhkan Habib Abdurrahman Al-Habsyi sebagai penguasa lokal wakil Sultan di Utara Aceh yang berpusat di Bugak. Itulah sebabnya dahulu Bugak sangat terkenal sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, sekaligus sebagai pusat dakwah dan pendidikan Islam di Aceh bagian utara yang telah melahirkan banyak sekali Tengku Alim Ulama sampai awal-awal kemerdekaan. Selanjutnya Bugak digantikan perannya oleh Matang Geulumpang Dua dengan berdirinya Dayah/Jami’ah (Universitas) Al-Muslim sekarang.
Sampai akhir hayatnya Habib Abdurrahman Al-Habsyi berdakwah dan memimpin masyarakatnya, dan beliau sendiri bermukim di Bugak dan Monklayu. Di akhir hayatnya, beliau mewasiatkan agar dikebumikan di Pante Sidom, sebuah daerah perkebunan dipinggiran Bugak, yang sampai sekarang masih menjadi kemukiman Bugak Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Menurut hasil penelitian tim, secara geografis, sampai saat ini tidak ada nama Bugak dengan kegemilangan sejarahnya pada abad 17 – 19 M di Aceh, selain dari Bugak di Bireuen.
Menurut penelitian Sayed Dahlan bin Habib Abdurrahman Al-Habsyi (60 thn), kakek buyut beliau Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi adalah Habib dan Ulama terkemuka yang sebelumnya tinggal di lingkungan Ka’bah Mekkah Almukarramah sebagai salah seorang anggota penasihat kepada Syarif Mekkah pada pertengahan abad 18 M (1740-1760an M). Pada masa ituSyarief Mekkah yang dipegang para Habib, Sayyid dan Syarief keturunan Rasulullah memiliki tempat khusus di kalangan Sultan dan Penguasa Muslim di Nusantara, terutama Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan tradisi sejak Kerajaan Islam Pasai pada abad ke 13 M. Jika ada masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan, maka mereka akan meminta fatwa dari Habib dan Ulama di Mekkah. Sementara Aceh memiliki kedudukan yang sangat khusus sebagai Serambi Mekkah, yang menurut satu pendapat dikatakan sebagai tempat mengambil keputusan atau fatwa agama dan sumber rujukan bagi Nusantara karena para Ulama Aceh memiliki drajat pengetahuan yang sama dengan Ulama di Yaman, Hijaz maupun Mesir. Karena sebagai serambi Mekkah inilah, maka Aceh selalu mendapat perhatian khusus Syarief Mekkah yang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Hal senada disampaikan pula oleh Sayed Muhammad bin Sayed Husein bin Habib Shafi Al-Habsyi (80 thn) yang tinggal di Sampoinit Baktia Barat Aceh Timur.
Menurut kedua nara sumber ini (Sayed Dahlan dan Sayed Muhammad) yang diceritakan melalui lisan dari generasi ke generasi sebagai tradisi para Sayed, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh Darussalam, ibu kota dan pusat pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam masa itu, sekitar awal atau pertengahan abad ke 18 (kira-kira thn 1760-an) bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Ala’addin Mahmudsyah (1767-1787) atas perintah dari Syarief Mekkah untuk menyelesaikan perbedaan faham antara Keturunan Sayid/Habib dengan keturunan para Sultan sejak zaman pemerintahan Sultan Ahmadsyah Johan (1735). Perbedaan ini terjadi ketika Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Syah Jamalullayl sebagai keturunan Sayyid menggantikanSultanah Kamalat Ziatuddinsyah, yang juga istrinya, dari keturunan Sultan Aceh atas dasar fatwa Syarief Mekkah dan dukungan uleebalang atau raja-raja kecil. Pertikaian ini selanjutnya berterusan sampai zaman Tuanku Sayid Hussein al-Aidit dengan keturunan Sultan Alaudin Ahmad Syah Johan.
Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh, menurut Sayed Dahlan, bersama dengan beberapa orang Habib, Syekh dan Ulama sebagai utusan Syarief Mekkah yang akan meneruskan tugas-tugas yang telah dijalankan sebelumnya oleh Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H) yang terkenal dengan Habib Dianjung, terutama dalam mendamaikan masyarakat Aceh yang sedang berada pada konflik internal yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan dan juga oleh faham teologi keagamaan yang tidak toleran yang diajarkan Syekh Nuruddin al-Raniry sebelumnya yang menimbulkan perpecahan dan perang saudara di Aceh. Karena para Habib dan Ulama ini berhasil mendamaikan dan mengawal perdamaian para pemimpin Aceh yang menghasilkan sebuah rekonsiliasi masyarakat, maka mereka diberi kehormatan dan diminta menetap di Aceh. Para utusan Syarief Mekkah ini, semuanya memilih tinggal di Aceh memberikan pelajaran agama, administrasi, kemiliteran dan pelajaran lainnya kepada masyarakat Aceh.
Bersama-sama dengan para Habib dan Ulama lainnya, Habib Abdurrahman Al-Habsyi membimbing dan mengajar masyarakat Aceh, sekaligus menjadi penasihat kepada Sultan Aceh, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, sosial, politik sampai kepada pertahanan. Kerena kelebihannya dalam ilmu agama dan ilmu pemerintahan, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi diminta Sultan Aceh untuk pindah ke wilayah utara Aceh dan diberi kehormatan dengan diangkat sebagai Teuku Chik, jabatan yang dibentuk Sultan untuk menggantikan peranan Uleebalangsebelumnya, yang memiliki kekuasaan meliputi daerah Peusangan, Bugak, Pante Sidom, Monklayu, Teluk Iboh, Maney, Lapang, Paya Kambi, Nisam sampai Cunda dan sekitarnya sebagaimana yang tercantum dalam dokumen bertahun 1224 H (1800 M), 1270 H (1855 M) dan 1289 H (1872 M) di atas logo cop Sekureng yang merupakan surat resmi Kesultanan Aceh Darussalam di tandatangani oleh Sultan Mahmud Syah dan Sultan Mansyur Syah yang ditemukan di rumah Sayed Abdurrahman bin Sayed Burhanuddin bin Sayed Abdurrahman bin Habib Shafi Al-Habsyi di Panton Labu Aceh Utara.
Dari dokumen-dokumen tersebut pula diketahui bahwa tugas Habib Abdurrahman bukan hanya mengurus administrasi pemerintahan semata, namun sekaligus sebagai seorang hakim (Qadhi) yang memutuskan perselisihan menurut hukum agama, Imam masjid, khatib jum’at, ulama sampai kepada wali hakim dalam pernikahan ataupun perceraian fasakh. Disebutkan pula tugas sebagai penerima waqaf mewakili Sultan, mengumpulkan pajak nangroe untuk Sultan dan beberapa tugas sosial lainnya. Dalam sebuah dokumen yang bertahun 1785 M (1206 H) bahkan disebutkan bahwa Habib Abdurrahman telah mengusir hama tikus yang merusak padi masyarakat di sekitar wilayah kekuasaannya, Peusangan dan sekitarnya. Atas kedudukannya tersebut, Habib Abdurrahman dan anak keturunannya kemudian dianugrahkan tanah luas oleh Sultan yang terbentang di antara Jeumpa sampai Monklayu Gandapura.
Menurut penelitian Sayed Dahlan yang dikuatkan dengan dokumen Kesultanan Aceh bertahun 1224 H (1800 M) yang ditandatangani Sultan Mahmud Syah, Habib Abdurrahman diangkat menjadi Bentara Laksamana karena memiliki kelebihan dalam bidang kemiliteran dan kelautan, yang bertugas menghalau kapal-kapal perang penjajah Belanda yang ingin menguasai Aceh. Markas besar beliau adalah di delta Sungai Krueng Tingkeum Monklayu yang sangat strategis. Maka sejak saat itu Habib Abdurrahman kemudian tinggal di Monklayu sebagai tokoh pemerintah dan ulama yang dipercaya Sultan yang seterusnya dilanjutkan oleh anak keturunan beliau.
Sejak Habib Abdurrahman menjadi Teuku Chik yang berkedudukan di Monklayu, maka mulai berkembanglah daerah tersebut, terutama Kuala Ceurapee menjadi salah satu daerah pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang, baik dalam dan luar negeri. Tempatnya yang strategis di delta sungai yang dapat menghubungkan dengan daerah hulu sungai sebagai sarana hubungan yang penting pada masa itu. Bersamaan dengan itu tumbuhlah pelabuhan-pelabuhan kecil seperti pelabuhan Kuala Peusangan (sekarang Jangka) yang terkenal memiliki hubungan dagang dengan Pulau Pinang Malaysia dan menjadi kota satelit perdagangan di sekitar utara Aceh. Hikayat-hikayat yang dijumpai disekitar daerah Kuala Peusangan/Jangka ataupun Kuala Ceurapee dan Monklayu menggambarkan bagaimana kemakmuran masyarakat di sekitar pelabuhan yang sangat sibuk dan penuh dengan perdagangan rempah dan hasil bumi lainnya. Itulah sebabnya pada awal abad 20an, Kota Bugak dan Kewedanaan Peusangan, yang sekarang menjadi Matang Glumpang berkembang pesat menjadi sentra bisnis yang menampung hasil bumi dari wilayah sekitarnya. Kemajuan daerah ini pada awal 1930an dibuktikan dengan berdirinya perguruan tinggi (al-Jami’ah) yang akan menjadi cikal bakal Universitas Al-Muslim. Pendeklarasian PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di tempat ini sudah menggambarkan kedudukan startegisnya.
Di ujung hayatnya, sekitar pertengahan abad ke 19 M (1850-1880 an M), bertepatan dengan dimulainya serangan-serangan Kolonialis Belanda terhadap Aceh, maka beberapa kapal armada laut Kesultanan Aceh ditempatkan di sekitar delta sungai Krueng Tiengkem, di Monklayu yang sangat strategis. Karena Habib Abdurrahman adalah Teuku Chik di Monklayu, maka secara otomatis Sultan memberikan tugas untuk menjaga armada kapal perang Kesultanan Aceh. Menurut cerita yang berkembang pada anak cucu beliau, Habib Abdurrahman ikut memimpin perlawanan terhadap Kolonialis Belanda, terutama dalam memimpin armada kapal perang dengan jabatan sebagai Bentara Laksamana yang berkedudukan di Monklayu.
Menurut Sayed Dahlan yang didasarkan pada penuturan dan cerita nenek moyang beliau, setelah menyerahkan tugas-tugasnya kepada anak sulungnya bernama Habib Husein di Monklayu, maka Habib Abdurrahman hidup dan menetap di sekitar Pante Sidom, Bugak, Peusangan sebagaimana juga tercantum dalam dokumen bertahun 1206 H atau sekitar tahun 1785 M yang menerangkan tentang aktivitas Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi. Sedangkan dokumen bertahun 1224 H atau sekitar 1800 M, yang berlogo Sultan Muhammad Syah, menerangkan tentang kehidupan Habib Abdurrahman dengan segala aktivitasnya sebagai seorang penguasa disekitar Bugak, Pante Sidom, Monklayu dan lainnya.
Setelah menjalankan kewajibannya, Habib Abdurrahman wafat pada usia 150an tahun, yang jika dihitung dari tahun wafat anak beliau Habib Husein pada 1304 H dikurangi sekitar 25-30 tahun lebih awal, maka beliau diperkirakan wafat pada sekitar tahun 1280an H atau 1860an M dan dimaqamkan di Pante Sidom, Bugak. Itulah sebabnya beliau dikenal oleh masyarakatnya sebagai Habib Bugak.
Menurut penuturan Sayed Dahlan, anak tertua Habib Abdurrahman bernama Habib Husein bin Abdurrahman AlHabsyi berangkat ke Mekkah untuk menunaikan amanah Habib Abdurrahman, termasuk untuk mengurus harta warisan beliau di Mekkah. Diantaranya berupa rumah disekitar Ka’bah sebagai warisan turun temurun keluarga besar Al-Habsyi. Karena mendapat nikmat dan penghormatan yang besar di bumi Aceh, maka Habib Husein atas wasiat Habib Abdurrahman mewaqafkan sebuah rumah untuk kepentingan masyarakat Aceh di Mekkah, baik jamaah haji ataupun mereka yang tinggal belajar. Itulah sebabnya, dalam ikrar waqaf tidak disebutkan nama pemberi waqaf, namun hanya mencantumkan Habib Bugak Asyi, untuk menghormati beliau yang telah tinggal di Bugak. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa beliau sempat berangkat ke Mekkah kembali dan mewaqafkan hartanya sendiri dengan nama Habib Bugak Asyi. Karena sudah menjadi tradisi orang-orang zahid dan saleh untuk tidak mengungkapkan jati dirinya dalam beramal soleh dan bersedekah.
Namun setelah ratusan tahun beliau wafat, yang diperkirakan pada tahun 1870an, atau bersamaan dengan penyerangan penjajah kaphe Belanda, tidak banyak yang mengetahui keberadaan beliau serta waqaf yang telah diberikannya kepada masyarakat Aceh di Mekkah, sampai dua musim haji terakhir ini (2006-2007). Hikmahnya memang kini harta waqaf Habib Bugak sudah berkembang berlipat ganda dan memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh, terutama jama’ah haji. Demikian pula dengan maqam beliau, sampai saat ini menurut pengamatan saya dan setelah saya berziarah pada Senin 14 Januari 2008 tidak terurus dan tidak menggambarkan tempat peristirahatan terakhir seorang kepercayaan Sultan, Ulama dan hartawan dermawan.
Maka atas inisiatif Red Crescent (Hilal Ahmar), telah dibentuk panitia PEMBANGUNAN MAQAM HABIB BUGAK dengan tujuan membangun komplek maqam Habib Bugak agar memudahkan para peziarah yang hendak berdoa sekaligus untuk memberikan penghormatan kepada beliau yang telah memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh. Panitia sudah mendapatkan persetujuan dari Bupati Bireuen untuk membangun Maqam Habib Bugak di Pante Sidom Bugak atas persetujuan dari Dinas Syari’at Islam Bireuen dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Bireuen. Panitia memohon dukungan moral dan doa kepada semua jama’ah agar pembangunan dapat segera dilaksanakan agar sejarah dapat dilestarikan dan menjadi i’tibar generasi sesudahnya.
Sayyid atau Habib adalah gelar yang diberikan kepada para keturunan Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali, biasa juga disebut dengan Syarief. Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang telah lanjut usia dan memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Biasanya para Habib adalah seorang tokoh yang berpengaruh serta memiliki pengetahuan luas yang dijadikan pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas keagamaan kepada masyarakat muslim. Disamping memiliki kharisma yang besar, biasanya juga memiliki kelebihan-kelebihan supra-natural atau secara spiritual. Boleh dikata bahwa Habib adalah para pemuka atau Ulama dikalangan para sayyid ataupun syarief.
Para peneliti telah membuktikan bahwa para Sayyid atau Habib memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan Islam di Nusantara sejak awal kedatangannya. Terutama setelah terjadinya eksodus besar-besaran para keturunan Rasulullah dari Dunia Arab atau Parsia akibat konflik dan perang saudara yang terjadi dengan keturunan dari Dinasti Bani Umayyah atau Abbasyiah pada awal abad VIII Masehi. Karena memiliki garis keturunan dengan Rasulullah saw, berpengetahuan luas, memiliki kemampuan menggalang pengikut setia, memobilisasi dana serta kecakapan adminstrasi dan kepemimpinan, maka banyak diantaranya yang menjadi menantu para raja dan selanjutnya menggantikan kedudukannya sebagai Sultan.
Apalagi ada sebagian faham, terutama faham awal masyarakat Nusantara telah mewajibkan memberi penghormatan kepada para keturunan Rasulullah berdasarkan sebuah sabda beliau: ”Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, yang jika engkau berpegang kepada keduanya, maka engkau tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnah) dan Keturunanku”.Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda: ”Aku tinggalkan bagi kalian dua hal. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian pasti tidak akan pernah tersesat. Salah satu dari dua hal itu lebih agung daripada yang lain; Kitabullah, sebuah tali yang terentang dari langit ke bumi; dan keturunanku, ahlul-baitku. Keduanya tidak akan terpisah satu sama lain hingga hari Kiamat nanti. Maka, pikirkanlah baik-baik bagaimana kalian akan berpegang teguh kepada keduanya setelah aku pergi.” Itulah sebabnya para keturunan Rasulullah saw selalu mendapat kedudukan terhormat dalam strata masyarakat di Nusantara, termasuk di Aceh.
Menurut penelitian Snouck, para keturunan Rasulullah yang dipanggil Sayyid, Syarief atau Habib memiliki kedudukan terhormat di kalangan masyarakat Aceh sejak awal kemasukan Islam. Mereka diberikan penghormatan sebagai tokoh agama, hakim, pengajar bahkan terkadang sebagai pemimpin masyarakat dan pemegang admnistratur pemerintahan. Sejarah Aceh sendiri telah membuktikan bahwa Kesultanan Aceh pernah dipimpin oleh beberapa orang Sultan dari keturunan Rasulullah, seperti Sultan Badrul Alam dan lainnya. Namun Snouck sendiri menggambarkan para Sayyid dan Habib sebagai tokoh yang ambisius dan eksploitatif akibat kedengkiannya kepada Islam dan dorongan tugasnya sebagai agen Kerajaan Belanda yang akan menaklukkan Aceh Darussalam. Itulah sebabnya tidak mengherankan ketika dia menggambarkan Habib Abdurrahman Al-Zachir sebagai tokoh penghianat dan materialis yang rela menjual Aceh dan masyarakatnya kepada penjajah kafir, yang tidak pernah menjadi tradisi mulia dari keturunan Rasulullah saw apalagi sebagai seorang Habib yang mengerti dan faham akan ajaran agama.
Sejak pertama kali berdirinya Kerajaan Islam di Aceh, baik di Jeumpa, Pasai, Perlak dan Kesultanan Aceh Darussalam dan selanjutnya, hubungan para Sultan dengan para keturunan Rasulullah terjalin dengan eratnya. Para Habib biasanya diberi tugas sebagai penasihat agama dan spiritual para Sultan, bahkan ada yang diangkat sebagai panglima, mangkubumi, sekretaris negara dan menteri luar negeri. Namun hubungan yang berdasarkan kepada keagamaanlah yang lebih dominan. Kedekatan para Sultan dan para Habib dapat juga dibuktikan dengan kedekatan para Sultan dengan para Syarief Mekkah yang dijadikan sebagai pemegang otoritas keagamaan atau sumber rujukan kepada masalah-masalah agama. Kedekatan antara Mekkah dengan Sultan dibuktikan dalam sejarah, ketika Sultan Iskandar Muda membuat peraturan keimigrasan di Banda Aceh (Kuta Raja) sebagaimana peraturan keimigrasian di Mekkah, bahwa orang non Muslim tidak diperbolehkan menetap tinggal di Bandar Aceh, kecuali hanya beberapa saat ketika mereka berdagang dan setelah selesai diperintahkan meninggalkan Banda Aceh atau bermalam di kapalnya.
Dari waktu ke waktu Syarief Mekkah akan mengirimkan para Ulama dan Habib ke Aceh untuk mengajarkan agama kepada pemimpin dan masyarakat Aceh. Puncak hubungan ini terjadi utamanya ketika masyarakat Aceh mengalami perselisihan internal keagamaan yang memerlukan keputusan seorang figur yang kuat sebagai mufti atau qadhi. Diriwayatkan dalam Sejarah Melayu, bahwa pada pertengahan abad ke 13 Masehi, Syarief Mekkah telah mengirim Syekh Ismail dengan beberapa guru agama, untuk melakukan dakwah Islam di kawasan Aceh. Dalam rombongan tersebut turut juga Fakir Muhammad dari India. Ketika terjadi perselisihan antara para pengikut Syamsuddin al-Sumatrani dengan Nuruddin al-Raniri yang berkelanjutan di zaman Maulana Syiah Kuala, Syarief Mekkah telah mengirim beberapa orang Ulama dan Habib yang ditugaskan untuk mendamaikan perselisihan faham yang tejadi. Mereka telah berhasil menciptakan pemahaman agama yang toleran dan moderat.
Pada masa Iskandar Tsani (1637-1641) telah datang seorang Habib kharismatis yang menjadi pembimbing dan pendidik masyarakat Aceh yang menjadi utusan Syarief Mekkah bernama Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H / 1680 M) yang bergelar Habib Dianjung yang terkenal dan dihormati Sultan dan masyarakat Aceh yang maqamnya di Peulanggahan Banda Aceh. Masih banyak lagi nama-nama para Habib, Syarief ataupun Sayyid yang tidak tercatat dalam sejarah masyarakat Aceh, terutama dalam mengembangkan ajaran Islam ataupun dalam membangun peradaban dan budaya masyarakat.
Tanggal, bulan dan tahun kelahiran Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi secara rinci sampai sekarang belum didapatkan, baik pada dokumen-dokumen yang tersimpan ataupun dari nara sumber. Menurut perhitungan dari generasi di bawah beliau, dan disesuaikan dengan beberapa peristiwa yang menyertainya, terutama dokumen yang ditemukan di Alue Ie Puteh yang memuat silsilah dan tahun wafatnya Habib Husein bin Abdurrahman, yaitu anak Habib Abdurrahman di Monklayu pada hari senin bulan ramadhan tahun 1304 atau sekitar tahun 1880an, maka Habib Abdurrahman diperkirakan wafat lebih awal 25-30an tahun, sekitar tahun 1280an H atau sekitar tahun 1865an M. Menurut cerita keluarga besar Al-Habsyi, Habib Abdurrahman berumur sekitar 150an tahun, maka beliau diperkirakan lahir pada sekitar awal tahun 1130an H atau sekitar tahun 1710-an Masehi. Asumsi ini juga didasarkan ketika datang ke Banda Aceh beliau berumur antara 35 atau 40 tahun sebagai batas dewasanya seorang Habib Ulama utusan Syarief Mekkah. Hal ini juga merujuk kepada dokumen Kesultanan Aceh bertahun 1206 H atau 1785 M yang memberikan keterangan akan tugas beliau di Bugak dan sekitarnya.
Menurut Sayed Dahlan bin Sayed Abdurrahman Al-Habsyi yang didengarnya dari kakek buyutnya, Habib Abdurrahman dilahirkan di Makkah Al-Mukarramah dalam lingkungan keluarga Al-Habsyi Ba’alwy Hasyimy yang memiliki kedudukan khusus dan terhormat di kalangan para petinggi Penguasa Mekkah. Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan awal abad ke 19 M, para Syarief Mekkah atau penguasa Mekkah adalah dari kalangan Ahlul Bayt Nabi saw yang diberikan amanah oleh para Khalifah Islam sampai berakhirnya masa Khalifah Usmaniyah di Turki pada tahun 1924 M.
Menurut data dari beberapa sumber, terutama dari Sayed Zein bin Habib Abdullah bin Habib Zein bin Habib Shafi Al-Habsyi dan dari Sayed Dahlan bin Sayed Abdurrahman bin Habib Shafi Al-Habsyi yang dikuatkan dengan lembaran silsilah yang tersimpan pada keluarga Alm. Sayed Abdurrahman bin Habib Abdullah bin Habib Zein bin Habib Shafi Al-Habsyi, silsilah Habib Abdurrahman adalah berasal dari Mekkah yang bersambung dengan garis Rasulullah saw, beliau adalah anaknya Habib Alwi bin Syekh Al-Habsyi.
Secara lengkap nasab beliau adalah Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh bin Hasyim bin Abu Bakar bin Muhammad bin Alwi bin Abu Bakar Al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Hasadillah bin Hasan Attrabi bin Ali bin Fakeh Muqaddam bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Baalwi Al-Habsyi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhadjir bin Isa Al-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Siddiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah (Ali bin Abi Thalib) binti Sayyidina Muhammad Rasulullah saw.
Sedangkan jika diurut dari bawah saat ini, maka Habib Abdurrahman adalah generasi yang ke 8. Sayed Maimun (Bugak,1958-skrg) bin Sayed Abdurrahman (Bugak,1927-2003) bin Habib Abdullah (Bugak,1903-1984) bin Habib Zein (Monklayu,w.?) bin Habib Shofi (Idi,w.?) bin Habib Ahmad (Monklayu, w.?) bin Habib Husein (Monklayu, w.1304 H / 1880 M) bin Habib Abdurrahman (Bugak-Pante Sidom, w.?) bin Alwi (Mekkah,w.?) bin Syekh dan seterusnya.
Banyak orang yang mengkritik tradisi keturunan Rasulullah (ahlul bayt) yang selalu menjaga dan memelihara silsilah keturunan. Namun bagi para keturunan Rasulullah, hal ini adalah sangat penting, terutama dari segi fiqih, agar keturunan Rasulullah tetap menjalankan syariatnya. Salah satunya adalah keturunan Rasulullah tidak boleh atau diharamkan memakan harta zakat atau shadaqah, tetapi boleh menerima hadiyah. Bagaimana hukum fiqih ini dapat terlaksana, jika keturunan Rasulullah tidak mengetahui nasab keturunannya. Agar jangan melanggar syariat inilah, maka sangat perlu bagi keturunan Rasulullah menjaga silsilah keluarganya.
Sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh dan nusantara memberikan gelar kepada ahlul bayt atau keturunan nabi Muhammad saw dengan julukan Sayyid, Syarif, Habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk wanita. Habib adalah salah seorang keturunan nabi Muhammad yang telah memiliki pengetahuan dan dihormati dilingkungannya. Tidak umum memberikan gelar Habib kepada mereka yang bukan keturunan Rasulullah, bahkan hampir tidak pernah ditemukan seorang Ulama atau tokoh masyarakat yang diberikan gelar Habib sedangkan mereka bukan dari golongan keturunan Rasulullah. Memang ada beberapa nama yang memakai Habib, seperti Habib Adnan atau Habib Chirzin, namun Habib disisi bukan gelar, tapi memang nama mereka adalah Habib.
Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memilikikunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal ataupun maqamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Dianjung dan dikuti oleh Ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lain-lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya yaitu Habib Bugak, karena beliau tinggal dan dimaqamkan di Pante Sidom Bugak.****
Sumber : http://danijurnalis.wordpress.com
  
Ada dua hal tentang ulama Aceh ini. Pertama, di Aceh dan boleh jadi di Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, ada kitab yang selalu dibaca oleh kaum santri atau siapapun yang tertarik dengan ilmu perobatan, yakni Kitab Tajul Muluk. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi (jawoe), maka asalpaham siapun bisa membacanya.Kedua, di Aceh anak muda yang sudah belajar di pesantren modern atau Madrasah ‘Aliyah, diantara impian mereka adalah bisa belajar di Kairo, Mesir. Negeri yang sudah mencetak ribuan ulama,bahkan tidak sedikit jiwa pembaruan di Nusantara, disemai dari mereka yang pernah menimba ilmu di Mesir. Sehingga anak muda Aceh yang merantau ke Mesir itu tidak sedikit. Saat ini sudah ada yang berbakti di Darussalam, seperti Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim yang juga pengasuh khusus 
“KAI” di Harian Serambi Indonesia yang rutin setiap hari Jumat. Juga ada Prof. Dr.Tgk. Azman Ismail (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh). Di dalam era kontemporer, dunia Islâm di Aceh memang tidak dapat dilepaskan dari tradisi keilmuan Islâm yang didapatkan oleh sarjana-sarjana Aceh yang pernah menuntut ilmu di Kairo ini.Berangkat dari dua hal tersebut, saya lalu mencoba mecari apakah ada ulama Aceh yang cukup disegani di Mesir? Dalam beberapa ‘catatan tercecer’ telah dikupas beberapa nama ulama Aceh di Mekkah serta jasa mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Mekkah berikut Serambinya (Aceh). Tanpa sengaja saya kemudian tersentak bahwa pengarang kitab Tajul Muluk adalah ulama Aceh yang pernah menetap di Mesir. Lagi-lagi, nama beliau tidak pernah terdengar di Aceh, walaupun hanya untuk nama jalan, seperti yang terlihat sekarang, dimana ada nama-nama ulama besar hanya dijadikan sebagai nama-nama jalan di kota besar Aceh. Syeikh tersebut adalah Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib al-Asyi

Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi tidak banyak dikenal oleh generasi Aceh kini. Padahal karya Tajul Muluk sering dibaca sampai sekarang. Sebelum berangkat ke Mekkah beliau berguru pada Syeikh Ali Asyi di Aceh dan sewaktu beliau berada di Mekkah diantara guru gurunya adalah Syeikh Daud bin Abdullah Al Fathani dan Syeikh Ahmad al-Fathani. Kedua ulama ini memang sangat disegani, tidak hanya di tanah Arab, tetapi juga di rantau Melayu, seperti di Aceh, Pattani, dan Kelantan. Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi agaknya tidak lepas dari jaringan keilmuan Nusantara ini. Kendati, sampai sekarang hampir tidak ada peneliti yang berani melakukan pengkajian terhadap biografinya secara lengkap.
Selain Tajul Muluk, ada karyanya yang masih ada sampai saat ini adalah Jam’u Jawami’il Mushannifat. Salah satu kitab yang wajib dibaca di dayah-dayah, tidak hanya di Aceh, melainkan juga di Pattani dan Kelantan. Di dalam kitab tersebut, Syeikh Ismail menulis sepenggal kalimat yang sangat puitis:
“Wahai ikhwan yang Muslimin,
orang yang yakin akan Rabbana,
Karangan ini intan ku karang,
segala manikam himpun di sana.’’
Kitab ini kumpulan kitab ulama lain yang dihimpun oleh Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi, yaitu Hidayatul ‘Awam karya Syeikh Jalaluddin bin Kamaluddin Asyi, Faraidh al-Quran, tanpa nama pengarang. Kasyful Kiram karya Syeikh Muhammad Zain bin Jalaluddin Asyi, Talkhishul Falah karya Syeikh Muhammad Zain bin Jalaluddin Asyi, Syifaul Qulub karya ‘Arif Billah Syeikh ‘Abdullah Baid Asyi, Mawaizhul Badi’ah karya Syeikh ‘Abdur Rauf Fansuri Assingkili,. Dawaul Qulub karya Syeikh Muhammad bin Syeikh Khathib Langgien Asyi, I’lamul Muttaqin karya Syeikh Jamaluddin bin Syeikh ‘Abdullah Asyi.
Cetakan awal kitab tersebut diusahakan oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah. Halaman terakhir cetakan ke lapan, 1320 H/1902 M. Jadi, tidak dapat disangsingkan bagaimana keilmuan yang dikuasai oleh Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi. Sebab, dalam tradisi Syarah dah Hasyiyah, seorang ulama yang berani menghimpun kitab-kitab ulama adalah mereka yang sudah pernah mendapatkan ijazah ilmu, baik secara lahir maupun batin. Hal ini disebabkan dalam tradisi keilmuan Islâm, model ijazah adalah salah satu syarat untuk menjadi murid atau punya hubungan batin dengan ulama sebelumnya.
Sedangkan kitab Tajul Muluk, Syeikh Ismail al-Asyi memulakannya dengan karya Syeikh ‘Abbas al-Asyi yang berjudul Sirajuz Zhulam, yang membicarakan ilmu hisab dan falakiyah. Pada akhir kitab Sirajuz Zhalam karya Syeikh ‘Abbas al-Asyi, Syeikh Ismail al-Asyi mencatat, “Maka telah selesai hamba salin kitab ini dalam negeri Mekah yang Musyarrafah pada hari Sabtu, pada 28 hari bulan Rabiulawal 1306H.” Kitab terakhir dalam Tajul Muluk ialah yang berjudul Hidayatul Mukhtar karya Syeikh Wan Hasan bin Wan Ishaq al-Fathani. Cetakan awal yang telah ditemui ialah yang diusahakan oleh Mathba’ah al- Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah/1893 Masehi. Jadi, perlu diupayakan oleh para sarjana Aceh untuk membuka kembali bagaimana tradisi tulisan ulama, seperti yang dilakukan oleh Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi ini.
Di dalam hal ini, Syeikh Ismail selain mentashihkan kitab kitab ulama Aceh pada saat itu agar mudah dibaca umum juga mengarang kitab sendiri seperti Muqaddimatul Mubtadi-in, yang dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1307 Hijrah/1889 Masehi. Tuhfatul Ikhwan fi Tajwidil Quran, diselesaikan pada waktu Dhuha hari Jumaat dua likur Jamadilawal 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan pertama Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah/1893 Masehi. Terdapat lagi cetakan Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1324 Hijrah/1906 Masehi, Fat-hul Mannan fi Bayani Ma’na Asma-illahil Mannan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan kedua oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1311 Hijrah/1893 Masehi, Fat-hul Mannan fi Hadits Afdhal Waladi ‘Adnan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi.
Ditugaskan ke Mesir
Wan Muhammad Sangir Abdullah, pengumpul manuskrip kasrya karya ulama Nusantara, mengatakan bahwa Syeikh Ismail Abdul Muthalib Asyi, setelah lama belajar dan mengajar di Mekkah oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani mengirim beliau ke Mesir untuk mengurus dan membina kader kader muda Islam Nusantara yang lagi belajar di Al Azhar Kairo bersama Syeikh Muhammad Thahir Jalaluddin, Syeikh Ahmad Thahir Khatib, Syeikh Abdurrazak bin Muhammad Rais, dan Syeikh Muhammad Nur Fathani. . Sesampainya di sana beliau mendirikan wadah pemersatu pelajar pelajar Nusantara disana dan beliau diangkat menjadi ketua pertama persatuan pelajar pelajar Melayu di Mesir oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani. Syeikh Ismail Asyi meninggal dunia di Mesir dan sedangkan keturunannya ramai menetap di Makkah. Sampai sekarang belum diketahui dimana pusaranya. Namun, jasa dan embrio keilmuan yang ditiupkan oleh Syeikh Ahmad Fathani kepada Syeikah Ismail Abdulmuthalib Asyi sudah berhasil. Buah dari hijrah ini sudah dapat kita rasakan sampai hari ini, tidak hanya bagi orang Aceh, tetapi juga bagi umat Islâm di Indonesia, Malaysia, dan Thailand Selatan.
Inilah secuil kisah dan peran Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi. Ada banyak hal yang perlu ditelaah lebih lanjut. Perlu dilacak lagi bagaimana jaringan keilmuannya di Mesir. Sehingga ada ‘alasan sejarah’ mengapa generasi Aceh selalu bermimpi untuk menuntut ilmu ke negeri itu. Ruh ini ternyata sudah dilakukan oleh Syeikh Ismail Abdulmuthalib Asyi melalui dorongan dari gurunya yang berasal dari Pattani. Untuk itu, kita berharap nama ulama ini bisa mendapat tempat yang terhormat di Aceh, tidak lantas kemudian menjadi nama-nama jalan di kota besar.
Menghormati dan menghargai ulama adalah dengan cara membaca karyanya dan berdoa atas jasa yang telah diberikan kepada kita saat ini. Begitu banyak manfaat kitab Tajul Muluk, namun tidak seimbang dengan pengetahuan pembaca akan penulis kitab ini. Akhirnya ‘sejarah tercecer’ kali ini bisa menjadi perhatian bagi masyarakat dan pemerintah Aceh. Sudah saatnya digagas untuk menulis dan mencari dimana ulama-ulama Aceh di Timur Tengah..Kita berharap ada upaya nyata dari pemerintah untuk menggali dan mencari jejak-jejak ulama Aceh, yang telah berjasa dalam pengembangan keislaman dan keilmuan sehingga menjadi iktibar bagi generasi Aceh selanjutnya

1 komentar:

  1. terima kasih atas infonya

    mohon kunjungi balik http://onlyaceh.blogspot.com

    BalasHapus