Sahabat.....,
tidak ada satu Ayatpun yang keliru dalam Firman Allah Al-Qur'an dan tak ada
satu janjipun yang tidak ditepati dalam firmannya tersebut. Contoh :
"Mintaah kepadaKU pasti Aku kabulkan ", kita sering bertanya kok kita
sudah sering berdo'a kok belum juga ada tanda-tanda pemberian sesuai permintaan
ya ?, " Ya Allah umurku sudah rawan, aku tak sanggup dibilang bujang lapuk
atau perawan tua, Ya Allah tolong jodoh yang telah engkau takdirkan untukku
datangkanlah segera, aku sudah tak sanggup sendiri terus begini ya Allah
". Seringkali kita tidak sadari Allah telah mengirim seseorang sebagaimana
permintaan kita, tetapi ketika seseorang tersebut datang kepada kita, nafsu
kita yang berbicara " lho kok yang ini sih yang datang ?, kurang keren ah,
gak bonafit, wah gak level, ketuaan item lagi, kerja dimana mas ? gajinya kecil
ya ? aduh amit-amit sudah punya istri masih ngelamar aku lagi !, cantik sih
tapi kependekan, alah guru ngaji berapa sih gajinya ?, pinginnya sih kayak
bintang film, pengusaha dan sudah mapan ".
Sahabat,
inilah yang disebut meng-cancel do'a, dan ini sering kita lakukan tanpa kita
sadari dalam banyak hal, tahukah kita bahwa sebenarnya yang datang pertama kali
itulah yang terbaik pilihan Allah untuk kita. Tak ada satupun manusia yang
sempurna selama masih bernama manusia, dalam ketidaksempurnaan itulah ada ujian
dan pahala yang besar serta kebahagiaan sepanjang hidup bagi yang Qona'ah (
syukur dan menerima dengan penuh ketulusan ).
Menjelang
hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah
dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan
menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan
teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya. Kenapa? Tanya mereka di hari
Nania mengantarkan surat undangan. Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk
di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di
kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba saja pipi
Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt.
Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi
kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar
dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!
Dulu
gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan
spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus
adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama
terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk
melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua
berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah
berkeluarga membawa serta buntut mereka. Kamu pasti bercanda! Nania kaget. Tapi
melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa
dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania
menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda. Suasana
sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo
dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania
serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya. Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira
Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik! Nania tersenyum. Sedikit
lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak
sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya,
seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang
duduk layaknya pesakitan.
Tapi
Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih
seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang
melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh? Nania terkesima.
Kenapa? Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi
dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga
juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab
masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain
pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau! Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka
atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania
Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak. Hari itu
dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai
Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah. Tapi kenapa? Sebab
Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa. Bergantian
tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya. Tak ada yang bisa dilihat pada
dia, Nania! Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran
duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di
mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan
melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya
Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania
memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya
idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga
umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
Setahun
pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering
berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli.
Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli
agar tampak di mata mereka. Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari
Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan,
tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat
perempuan itu sangat bahagia. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar
cinta Rafli pada Nania. Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga
saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia,
siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya
kehidupan sukses! Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali
ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli. Beberapa
lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen. Tapi Rafli juga tidak jelek,
Kak! Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan? Rafli juga pintar! Tidak
sepintarmu, Nania. Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan,
Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu. Seolah tak ada apapun yang bisa
meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami
seperti Rafli. Lagi-lagi percuma. Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu
sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu. Teganya
kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan
sebentar lagi punya anak.
Ketika
lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak.
Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.
Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir
diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang. Nania
tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya
Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan
mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik
menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah. Inilah hidup yang diimpikan
banyak orang. Bahagia! Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari
keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan
dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika
bahagia, alasan- alasan menjadi tidak penting. Menginjak tahun ketujuh
pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu
mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami
terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik
masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik
orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara
Nania, bisik Papa dan Mama. Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik
ya? dan kaya! Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang
pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup
dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun
kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak
sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Bayi
yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya. Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan! Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat
ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga
perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya
dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil. Rafli tidak beranjak
dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki
itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi
tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
datang. Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat
pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan
melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan
berjalan lambat sekali. Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah
bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang
pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat
suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi. Tigapuluh
jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti
setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset. Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah
tak sanggup lagi ditanggungnya.
Kondisi
perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua
kehidupan. Dokter? Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir
kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya
hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan
dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu.
Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak.
Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat
menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang
bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri. Kepanikan ada di udara.
Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti
melafalkan zikir. Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli
membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di
mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka
selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis.
Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil
menenangkan orangtua mereka. Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda.
Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di
pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat
seperti kanker. Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah
seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya
sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh
membawanya pulang. Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut
menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat
perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak
keluarga Nania dengan Rafli. Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah
meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya
pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh,
dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah
Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya
dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung
lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.. Rafli percaya
meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya. Nania, bangun,
Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi
dan kening istrinya yang cantik. Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga
mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap
hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya
mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan
membacanya dengan suara pelan.
Memberikan
tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
"Nania, bangun, Cinta?" Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam
sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia
bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang
menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.Rumah mereka
tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli
tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya
yang semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Nania lagi dan
semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta
gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu
lama.
Pada
hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli
adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli
menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan
syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. Asalkan Nania sadar, semua
tak penting lagi. Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali
dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun
terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah
satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju
rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku
Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika
malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah
pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu
merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa
cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan
tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa
dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama
itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton
bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli,
melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di
sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang
berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari.
Masih
dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur
Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi
pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik. Baik
banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua! Nania
beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya. Tidak, tidak
cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta.
Sedikit pun tak pernah bermuka masam! Bisik-bisik serupa juga lahir dari
kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan
sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi
dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar
mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu.
Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi? Dari teras Nania
menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan
itu ikut tergelak melihat kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan.
Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang
mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya
tak berfungsi sempurna.
Meski
kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari
tangannya. Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki
biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
"
Perempuan dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya, nasabnya,
kecantikannya dan karena agamanya. Maka menangkanlah wanita yang mempunyai
agama, ENGKAU AKAN BERUNTUNG " (HR.Bukhori Muslim) Hadits ini juga berlaku
untuk perempuan ketika memilih laki-laki.